KELANA

Lovaerina
Chapter #9

Garis Takdir

Kelana menggedor-gedor jendela kaca dengan tidak sabaran. Dia bermaksud memasuki rumah itu dan mengambil si bayi untuk disantap. Gedoran yang Kelana lakukan berhasil menarik atensi dari kedua orang tua bayi tersebut. Kelana melihat mereka saling pandang sejenak, lantas sama-sama menatap ke arah jendela. Tempat di mana Kelana sedang berdiri menampilkan seringai yang tidak terlihat oleh pandangan manusia.

Si perempuan masih mengelus-elus bayi mungil di pangkuan untuk menenangkan tangisnya. "Cup. Cup. Cup ... anak mama jangan nangis, ya. Mama di sini, Sayang."

Kelana mendengar ucapan perempuan itu. Alih-alih iba seperti seharusnya, Kelana justru merasa semakin merasakan lapar yang tidak terkira. Giginya saling beradu ingin segera mengunyah. Sedangkan kedua tangan Kelana masih sibuk menggedor jendela kamar dari luar.

Sementara itu, ayah si bayi berjalan perlahan-lahan mendekat ke arah jendela. Dia lantas menyipitkan kedua mata untuk menajamkan penglihatan, mencermati keadaan di luar jendela tanpa tahu wajah Kelana tepat berada di hadapannya, hanya terhalang oleh lapisan kaca tebal, dengan sorot mata dipenuhi nafsu memburu.

"Enggak ada apa-apa, Ma."

Kelana mendengar suara si lelaki yang berucap demikian kepada sang istri. Kemudian dia membenarkan posisi tirai yang tersingkap sedikit. Kelana menggeram rendah begitu tirai jendela tertutup rapat. Sebab, tidak ada celah lagi untuk mengintip si bayi yang masih menangis kencang. Kelana semakin kencang menggedor jendela kaca, berulang-ulang dan tanpa jeda. Sudah seperti rentenir yang hendak menagih tunggakan utang.

"Buka!" Kelana berteriak lantang, meskipun tidak ada yang mendengar suaranya. "Buka!"

Tidak mendapatkan respons apa-apa, Kelana beralih ke arah pintu. Dia melakukan hal yang sama, menggedor pintu itu dengan kencang dan brutal. Kelana pikir si pemilik rumah akan membuka pintu dan dia bisa segera menerobos masuk untuk memenuhi hasratnya menyantap bayi merah di dalam sana.

Seringai menyeramkan terbit pada sudut bibir kanan Kelana ketika mendengar suara derap langkah kaki mendekati pintu, disusul bunyi anak kunci yang terbuka. Pada detik berikutnya, pintu terbuka perlahan-lahan, menampilkan raut kebingungan si lelaki yang mencari penyebab suara ketukan. Dengan secepat kilat, Kelana melesat masuk melewati laki-laki itu dan menuju kamar si bayi.

Tangisan bayi di dalam kamar semakin kencang begitu Kelana berdiri tepat di hadapan sang ibu. Kelana menjulurkan kedua tangan untuk meraih tubuh ringkih yang terlihat segar di penglihatannya. Tinggal sejengkal lagi Kelana bisa menggapai si bayi mungil. Akan tetapi, tiba-tiba pergelangan tangan kiri Kelana dicekal. Kemudian dia diseret paksa keluar dari rumah itu.

"Lepas!" bentak Kelana dengan garang. Dia meronta, berusaha menepis cekalan pada pergelangan tangan kirinya.

"Enggak!" Arsyanendra balas membentak keras. "Ngapain kamu di sana? Mau kamu apakan bayi itu?"

"Aku lapar!" Kelana kalap, kedua mata bulatnya sontak melotot, seolah-olah akan melompat keluar.

Arsyanendra merasa ada yang berbeda pada tatapan Kelana. Selain warna matanya yang kecokelat-cokelatan kini berubah jingga pekat, tatapan Kelana menyiratkan hasrat mematikan. Dia yakin ada yang tidak beres pada diri Kelana. Untung saja, tadi Arsyanendra menyadari kalau Kelana tidak lagi berada di belakangnya. Andai Arsyanendra tidak sempat mencegah Kelana, entah apa yang akan terjadi pada bayi mungil dalam rumah itu.

"Lepas!" Kelana kembali menghardik Arsyanendra.

Alih-alih menuruti hardikan Kelana, Arsyanendra justru semakin memperkuat cengkeramannya. Kelana terus meronta-ronta sekuat tenaga. Arsyanendra tidak kehabisan cara untuk tetap menahan. Dalam satu sentakan penuh tenaga, dia menarik Kelana ke dalam dekapan erat.

Lihat selengkapnya