Kelana lunglai. Dia pasrah menumpu badan pada punggung Arsyanendra yang tengah menggendongnya sambil terus melangkah. Entah ke mana lagi tujuan mereka. Selama bereksistensi sebagai arwah, baru kali ini Kelana merasa lapar. Apalagi setiap kali aroma bayi menyapa indra penciuman, rasa itu semakin tergugah.
Beruntung ada Arsyanendra yang sigap mengeratkan pegangan pada kedua betis Kelana agar tidak kabur. Kalau sudah seperti itu, Kelana hanya bisa melampiaskan perasaan kelaparannya dengan menancapkan gigi di bahu Arsyanendra kuat-kuat. Sedangkan Arsyanendra menggigit bibir untuk meredam rasa sakit yang mendera.
"Lapar ... " Entah sudah berapa kali Kelana merengek seperti itu, tepat di telinga Arsyanendra.
"Tahan." Tanggapan Arsyanendra tidak pernah berubah, dia sendiri tidak tahu harus memberi makan apa kepada Kelana. Apa makanan manusia akan cocok di lidah arwah seperti Kelana?
Arsyanendra pernah melihat sosok perempuan menyeramkan berambut panjang sedang menjilat telapak kaki bayi mungil di rumah sakit, dengan penuh minat. Kalau tidak salah, itu pada hari pertama dia menyadari eksistensinya berada dalam dimensi berbeda, sebelum terombang-ambing di antah-berantah seperti sekarang. Arsyanendra tidak bisa membayangkan Kelana akan melakukan hal tersebut. Menurut Arsyanendra, Kelana tidak pantas menjadi arwah jahat.
"Aku bisa mati kelaparan." Kelana kembali berkeluh kesah.
"Kamu udah mati, Kelana," timpal Arsyanendra mengingatkan, seraya memperbaiki posisi badan Kelana yang sedikit melorot dari gendongan.
"Makanya ... nanti aku mati dua kali, gimana? Aku lapar banget, Arsya ...."
Rengekan Kelana justru menerbitkan segaris senyuman pada bibir Arsyanendra. Bukan hanya tentang kalimat asal-asalan yang Kelana ucapkan, tetapi juga caranya menyebutkan nama Arsyanendra dengan nada manja itu benar-benar menggelitik. Seperti ada jutaan kupu-kupu tengah mengepakkan sayap di dalam lambung Arsyanendra saat ini.
"Ih, kok kamu malah senyum-senyum?" gerutu Kelana ketika mendapati senyuman Arsyanendra. "Kamu seneng, ya, kalau lihat orang lain menderita?"
"Kamu arwah, Kelana. Bukan orang." Arsyanendra meralat ucapan Kelana dengan cepat.
Kelana berdecak, merasa kesal juga mengingat fakta itu. Andai Kelana masih menjadi manusia, maka dia tidak perlu tersiksa menahan lapar seperti sekarang. Kelana bisa memakan apa saja yang dia mau, tanpa harus menghilangkan nyawa bayi tak berdosa.
"Rawon setan enak kali, ya?" Tiba-tiba makanan itu terlintas dalam benak Kelana, padahal seumur hidupnya belum pernah merasakan masakan tersebut.
"Nanti kalau ketemu setan lagi, kamu tanya aja langsung," timpal Arsyanendra bergurau.
"Bercandanya enggak lucu, Sya!" Kelana bersungut, tidak mau bertemu dengan makhluk-makhluk seram lagi. Dia sudah cukup lelah berlari menghindar, padahal Arsyanendra lebih kepayahan dibandingkan dirinya.
Tawa Arsyanendra mengemuka. Pertemuan mereka terbilang singkat, tetapi Arsyanendra merasa sudah begitu akrab dengan Kelana. Rasanya seperti telah saling mengenal sebelum ini. Bahkan, Arsyanendra tidak keberatan kalau harus terus-menerus menggendong Kelana di punggungnya. Dia ingin selalu melindungi Kelana.
"Turunin aku," pinta Kelana tiba-tiba.
"Enggak mau! Nanti kamu kabur," timpal Arsyanendra menolak permintaan Kelana.
"Aku berat, Arsya. Lama-lama kamu capek, lho."
"Enggak berasa sama sekali. Kamu kayak kapas. Lebih capek kalau aku harus nahan kamu biar enggak macam-macam," debat Arsyanendra.