"Kelana, lepaskan dia!"
Kelana mengabaikan suara hardikan dari kejauhan. Dia hanya ingin membuat Arsyanendra tidak bisa bernapas lagi, sama seperti dirinya saat ini. Mati dan berpisah dari orang-orang yang dicintai. Kalaupun harus ke neraka setelah membuat Arsyanendra kehilangan nyawa, Kelana akan tetap melakukan itu.
"Ke--la--na ... " Mata bulat meruncing Arsyanendra tampak basah. Untuk alasan yang tidak diketahui, dia merasa sedih dan kecewa pada diri sendiri. "Ma--af."
Sebuah energi kuat menarik Kelana ke belakang, hingga cekikan pada leher Arsyanendra serta-merta terlepas. Kelana meronta-ronta ketika kedua tangannya telah berhasil diringkus oleh Satria. Sementara itu, Arsyanendra meraup udara sebanyak yang dia bisa.
"Tempat kamu bukan di sini, Kelana," ucap Satria, datar dan dingin seperti biasa.
"Lepas!" Kelana memberontak, masih bernafsu untuk membuat Arsyanendra lenyap dari dunia.
Tanpa perlu melihat sepasang mata Kelana yang dipenuhi kilatan amarah, Satria tahu arwah itu sedang dikuasai energi negatif. Beberapa hari terlunta-lunta di luar wilayah karantina membuat arwah bisa menyerap energi dari makhluk-makhluk astral yang dia temui. Ancaman Bellissa mengenai pertemuan dengan manusia yang bisa menyebabkan arwah menjadi penasaran sepanjang masa, hanya bualan belaka. Sebab, faktanya justru arwah bisa mencelakakan manusia ketika telah dikuasai energi negatif.
"Membunuh dia enggak bisa membuatmu hidup lagi. Kamu hanya akan menyesal, Kelana." Satria mengeratkan cengkeraman pada tangan kanan dan kiri Kelana.
"Aku enggak peduli! Dia harus mati!" elak Kelana memegang teguh keinginannya.
Mendengar ujaran penuh kebencian dari Kelana itu, Arsyanendra merasakan nyeri pada bagian dada sebelah kiri. Ada duka yang menyapa Arsyanendra, padahal dia dan Kelana hanya bersama dalam hitungan hari, belum terbilang lama.
Satria melihat jiwa laki-laki yang sedang menatap nelangsa pada Kelana. Jiwa berbeda dengan arwah. Dia masih memiliki kesempatan untuk menjalani hidup di dunia, sedangkan arwah tidak bisa kembali menjadi manusia. Meskipun tidak ada yang bisa mengetahui kapan seseorang akan mati, Satria merasa belum waktunya bagi Arsyanendra menemui ajal.
Pertemuan jiwa Arsyanendra dengan arwah Kelana menjadi proses pengungkapan kronologi kematian perempuan yang masih Satria tahan supaya tidak memberontak dan meluapkan dendamnya menjadi aksi pembunuhan. Sesuai dugaan Satria, bahwa selalu ada sebab di setiap peristiwa. Baik itu pertemuan maupun perpisahan. Begitu juga pertemuan kedua eksistensi berbeda tersebut, adalah karena suatu alasan.
Satria harus segera membawa Kelana kembali ke tempat karantina, sebelum energi negatifnya semakin bertambah besar dan tidak bisa dikendalikan lagi. Dia tidak boleh membiarkan Kelana merenggut jiwa yang terlunta-lunta. Itu hanya akan membuat Kelana menjadi arwah jahat yang berkeliaran tanpa tujuan di antara dunia manusia dan arwah.
"Kita pergi sekarang!" Setelah mengucapkan kalimat itu, Satria merapalkan bacaan tanpa suara.
Pada detik tersebut, eksistensi Kelana, Satria, dan Arsyanendra hilang secara bersamaan, menyisakan kekosongan pada jalan raya tempat terjadinya tragedi beberapa waktu yang lalu.
***
RSU. SUMBER MEDIKA
Begitu tulisan dengan huruf kapital pada muka dinding sebuah bangunan tempat di mana eksistensi Arsyanendra berdiri saat ini. Ada sebuah energi yang menarik Arsyanendra untuk melangkahkan kaki memasuki bangunan tersebut. Dia melewati satpam di pos penjagaan yang tengah duduk menopang dagu sambil terkantuk-kantuk.
Beberapa orang masih lalu-lalang. Wujud mereka tidak ada yang menyeramkan, tidak pula berjalan dengan melayang seperti Kelana. Arsyanendra menyimpulkan bahwa mereka adalah manusia, bukan makhluk astral. Dia masih mengikuti naluri yang membawanya menyusuri koridor menuju salah satu bagian paling ujung rumah sakit.
Langkah Arsyanendra terhenti di depan sebuah ruangan khusus dengan dinding kaca besar. Dia tidak bisa memasuki ruangan tersebut karena pintunya tertutup. Akan tetapi, dari balik kaca itu Arsyanendra melihat tubuh laki-laki terbaring di atas ranjang pasien. Di samping ranjang, terdapat monitor yang menampilkan grafis kinerja organ vital pasien. Selain itu, berbagai alat medis lain terpasang di beberapa bagian tubuhnya.
"Itu ... " Kerutan menghias dahi lebar Arsyanendra, tatapannya dipenuhi rasa iba tertuju pada tubuh terbujur si pasien.
Arsyanendra mengerjap perlahan-lahan, lalu ingatannya terlempar pada malam di mana dia pulang sedikit larut setelah lembur bekerja. Sepeda motor yang dikendarai, sengaja Arsyanendra lajukan dengan kecepatan tinggi. Bukan hanya karena memanfaatkan situasi jalanan yang lengang, tetapi dia baru saja mendapat kabar bahwa asma ibunya kambuh. Sedangkan kakak perempuan Arsyanendra menginap di rumah mertua yang berada di luar kota.
Kalut karena memikirkan keadaan sang ibu, Arsyanendra sampai tidak sempat menarik rem ketika seorang gadis tiba-tiba menyeberang jalan. Dia menabrak tubuh gadis itu hingga terpelanting dan motornya sendiri ikut terguling.
Arsyanendra segera menghampiri tubuh terkapar si gadis dan berniat menolongnya, tetapi tiba-tiba dia melihat lima orang yang berlari dari arah gang. Arsyanendra dihadapkan pada situasi sulit. Kalau bertahan di sana, dia sudah pasti akan dijadikan tersangka pada kecelakaan itu, meskipun hal tersebut juga dikarenakan oleh kecerobohan si gadis yang menyeberang sembarangan. Sedangkan Arsyanendra harus segera sampai ke rumah sebelum hal buruk terjadi kepada ibunya.
"To--long ... " Arsyanendra mengingat jelas rintihan tersiksa gadis yang bersimbah darah itu, tetapi dia memilih menggugu keegoisan diri dan beranjak dari sana sebelum keadaan semakin rumit.
Dengan tergesa-gesa, Arsyanendra kembali menyalakan mesin motor dan berlalu. Namun, belum jauh dari tempat kecelakaan, hati Arsyanendra terusik, memaksanya berbalik dan menyelamatkan korban. Dia pikir, menghubungi ambulans mungkin akan membantu, meskipun hanya sedikit peluang yang ada.
Arsyanendra memutuskan untuk berputar balik. Bertepatan dengan itu, kepalanya tiba-tiba terasa pening. Dia kehilangan kendali. Alih-alih menarik rem, Arsyanendra justru mengencangkan gas dan menabrak pembatas jalan sangat keras. Beruntung ada petugas patroli yang kebetulan melalui jalan itu, sehingga Arsyanendra masih sempat dibawa ke rumah sakit dalam keadaan kehilangan kesadaran hingga detik ini.