Deru napas yang begitu kencang terdengar dari sosok yang baru saja terbangun itu. Entah, mungkin mimpi buruk datang menghampiri sebelum netranya terbuka. Napasnya memburu, mungkin untuk tiga menit pertama. Setelah kesadaran penuh, ia baru sadar bahwa tubuhnya sakit sekali sampai mau rontok. Ia tertidur di lantai tanah dialasi oleh tikar tipis yang sepertinya dianyam dari rumput kering. Yang jelas ini sama sekali bukan kamar nyaman apartemennya. Ruangan ini tanpa sekat, dikira-kira hanya lima kali lima, dindingnya terbuat dari anyaman bambu dan atapnya tumpukan jerami. Di ujung sana, terdapat tungku sederhana beserta peralatan masak seadanya--yang sepertinya berbahan tanah liat.
Ia bangkit sambil meraba-raba tubuhnya sendiri. Mengapa ia tak memakai baju yang semalam? Seingatnya, sampai ia pulang kantor pun, yang ia kenakan adalah rok plisket putih di bawah lutut dan blouse pink pastelnya. Juga, di mana heels yang setia membantunya agar terlihat lima senti lebih tinggi itu? Mengapa sekarang ia hanya memakai sehelai kain lusuh yang dililitkan dan tanpa alas kaki?
"Gue di mana?" gumamnya sambil berjalan tertatih-tatih keluar dari rumah, yang menurutnya lebih pantas disebut gubuk reot yang sudah hampir ambruk. Bahkan pintunya tak memiliki kunci, hanya diletakkan asal, yang penting bisa menutup.