Kelana akhirnya ingat apa yang menimpanya tadi malam. Namun, bukankah seharusnya ia sedang berada di rumah sakit, bukannya tempat antah-berantah ini. Laki-laki di depannya ini terus menatapnya kebingungan. Mereka masih berdiri di depan gubuk reot, memandang heran satu sama lain.
"Aku Guntur, temanmu. Itu rumahku, tepat di seberang rumahmu. Kau ini kenapa? Kelana siapa?"
Gadis itu panik, meraba-raba wajah dan tubuhnya lagi. "Cermin, di mana cermin?" tanyanya panik.
Alis laki-laki bernama Guntur itu menukik. "Cermin? Benda mahal itu? Daripada membelinya, orang-orang seperti kita lebih memilih membeli beberapa butir umbi-umbian. Kau ini kenapa, Sekar?"
"Di mana aku?" tanya Kelana, lagi-lagi ia ketakutan. Apakah ini neraka? Tapi bukan seperti ini penggambaran yang sering disebut-sebutkan dulu. Atau mungkin, ia hanya sedang bermimpi?
Dengan penuh kesadaran, Kelana menampar pipinya. "Aw!"
"Kau ini kenapa, Sekar? Kau sedang di rumahmu, ini kampung kita."
Sebersit pikiran mampir, ia harus mencari sesuatu yang bisa menunjukkan rupanya saat ini. "Apakah di sini ada air? Atau sungai? Iya, apakah ada sungai?"
Meski keheranan, Guntur mengangguk. "Kau aneh sekali. Ayo ikut aku."
Kelana mengikuti lelaki itu. Perkampungan ini sungguh masih rimbun oleh pepohonan, bahkan belum diaspal. Telapak kaki Kelana yang telanjang tanpa alas itu beberapa kali menginjak kerikil, ia meringis. Ia juga takut, barangkali ada hewan kecil atau kotoran yang bisa terinjak.
"Aish, kenapa aku lupa tidak memakai sandal."
"Apa itu sandal?" tanya Guntur
"Ah, alas kaki."
"Oh, bakiak maksudmu? Kau ini lupa? Bakiakmu dijual oleh bapakmu dua pekan yang lalu untuk berjudi. Kau sangat marah waktu itu."
Sejak kapan papa berjudi?
"Nah, ini sungai yang biasa kau buat mandi."
Kelana mempercepat langkahnya. Air di sana begitu jernih, mana mungkin sungai sejernih ini ada di Jakarta. Cepat-cepat ia melongokkan wajahnya pada air, lalu terlihatlah bayangan gadis cantik yang sayangnya begitu kurus. Kelana tebak, usianya belum genap dua puluh tahun.
Tidak. Tidak. Itu bukan wajahnya. Namun, dalam tubuh ini, ia yakin adalah dirinya. Kelana Hardjadiningrat. Wanita karir yang tumbuh di keluarga bangsawan. Wanita yang sebentar lagi akan membangun penerbitan dan rumah produksinya sendiri. Bagaimana mungkin?
"Bagaimana mungkin? Kenapa aku ada di tubuh ini? Seharusnya aku sedang dirawat di rumah sakit," rancaunya sendiri.
"Dengar, Guntur. Saya bukan Sekar, saya bernama Kelana Hardjadiningrat yang hidup pada tahun 2024. Dan saya tidak tahu di mana saya sekarang, di zaman apa. Saya benar-benar bingung. Tolong bantu saya kembali.'
Guntur hanya bisa melongo mendengarkan ocehan Kelana–dalam tubuh Sekar–yang begitu panjang. Pula, ia tidak mengerti sama sekali apa yang dibicarakan oleh gadis itu. Ia tahu, Sekar memang sering ngawur, bicara omong kosong, tetapi biasanya ia masih bisa paham.