Kelana lelah, ia terus dipaksa berjalan. Hari semakin siang, matahari sudah berada tepat di atas kepala. Dan, para pria tak berhati nurani itu terus saja mendorongnya untuk maju. Keadaannya sudah sangat mengenaskan. Tangannya diikat di belakang, rambutnya tergerai berantakan, telapak kakinya melepuh sebab tak beralaskan apa-apa. Bahkan, ia sangat lapar, ubi yang dibakarnya bersama Guntur belum sempat ia sentuh.
Sungguh, Kelana ingin kabur, tapi pemberontakannya hanya berakhir sia-sia. Hidup sebagai Kelana sempat membuatnya belajar bela diri, tapi tak sampai bisa mengalahkan puluhan lelaki berotot dengan senjata ini.
Dalam perjalanannya ini, banyak pasang mata yang menatapnya dengan kasihan. Namun, ada pula yang menggunjingnya sebagai perawaan tua pembawa sial seperti yang diucapkan prajurit tadi. Kelana tebak, di zaman ini, pernikahan dini mungkin lazim. Sekar yang mungkin masih remaja bagi orang-orang yang hidup pada tahun 2024, di sini bisa disebut perawan tua, lalu bagaimana dengannya yang menginjak usia 28 tahun.
"Kasihan banget orang-orang yang lahir di zaman ini," gumamnya pelan.
Sepertinya, salah satu pria itu mendengar, lantas mendorongnya dengan tongkat. "Jangan banyak bicara."
"Aku mau dibawa ke mana?" tanyanya, lelah.
"Kau tidak memiliki hak untuk bertanya, budak!" bentak salah satu dari mereka.
"AKU BUKAN BUDAK!"
"Tutup mulutnya," titah pria yang Kelana yakini sebagai pemimpin.
Kelana menggeleng, tapi ia tidak berdaya. Langkahnya terus dipaksa, hingga sampailah ia pada pagar dengan gerbang besar nan tinggi. Beberapa orang menjaga dengan tombak di tangannya.
Perempuan itu diseret untuk masuk ke sebuah ruang yang jauh dari gerbang, ah bukan, ia lebih cocok disebut kandang. Kelana ingin menangis, sebab tak hanya dirinya, ada puluhan perempuan lain yang bernasib sama. Mereka dikurung dan ditinggalkan, Kelana tak berhenti menangis.
Seseorang mendekatinya, perempuan awal tiga puluhan kira-kira. Membuka sumpalan yang membekap mulut Kelana, sebab tanggannya masih terikat.
"Sudah, jangan menangis," katanya, sambil melepaskan ikatan di tangan Kelana.
"Siapa namamu?" lanjutnya bertanya.
Kelana masih sesenggukan, "Kel–, Sekar," jawabnya.
"Ah, kau perawan tua yang dijual bapakmu itu ya," katanya, enteng sekali mulutnya itu, batin Kelana.