Kelana, bersama puluhan orang lain, digiring menuju sebuah tanah lapang. Ternyata, tak hanya perempuan, ada puluhan lelaki calon budak. Mereka dipaksa bersujud pada sebuah singgasana, yang Kelana lirik masih kosong, raja itu belum datang.
Di sana, ada beberapa orang bukan budak yang sedang menyaksikan. Pejabat kerajaaan, prajurit, dayang-dayang, dan para selir. Kelana tidak menyukainya, harga dirinya seperti diinjak-injak sampai habis.
Sampai akhirnya, raja dan ratu datang, duduk di singgasananya. Cih, kesenjangan macam apa ini. Raja dan ratu itu memakai pakaian berbahan beludru, kain yang bagus, pula mahkota yang bersinar mencolok mata. Sedangkan dirinya, dari kemarin bahkan belum berganti baju, atau kain.
Sesaat kemudian, beberapa putri dan pangeran kerajaan datang, duduk di singgasana kecil di samping raja dan ratu. Kelana tidak begitu peduli, sampai matanya bertatapan dengan seseorang yang ia kenal. Guntur? Bagaimana ada Guntur di jajaran putri dan pangeran itu?
"Jangan berani mendongakkan kepala ketika ada raja dan ratu!" bentak seorang prajurit pada budak-budak di sana.
Dalam hati, Kelana merutuki dirinya sendiri. Bagaimana ia bisa tertipu? Guntur yang mengaku sebagai temannya kemarin, mungkin saja adalah pangeran yang iseng, ingin bermain-main dengan rakyat jelata sepeti Sekar. Mungkin, Sekar yang lugu juga telah tertipu.
Dawuh raja dibacakan oleh seorang menteri. Kelana tidak begitu menggubris, tetapi ada beberapa kalimat yang ia tangkap. "Para hamba tidak lagi memiliki nama, kebebasan untuk berbicara, hak atas tubuh dan pikirannya. Hidupnya adalah milik raja, hidupnya adalah belas kasih raja. Untuk mendapatkan makan dan minum, para hamba harus melakukan tugas-tugasnya. Para hamba boleh dicambuk, dipukul, bahkan dipenggal apabila melampaui dirinya sendiri. Semua itu bukan penyiksaan atau kejahatan, melainkan semata-mata adalah bentuk pengabdian dari hamba kepada raja."
Cih, Kelana ingin mengumpat. Perbudakan jelas-jelas kejahatan, melanggar hak asasi manusia.
Benar-benar, bahkan masing-masing dari budak itu diseret satu per satu untuk menghadap raja secara lebih dekat. Para prajurit memanggilnya bukan dengan nama, melainkan tugas-tugas yang akan diemban.
"Si pemerah susu," Kelana mendengar, itu Winarni.
"Mulai sekarang, kau adalah si pemerah susu. Setiap hari, perahlah susu dari kandang sapi kerajaan," titah si menteri, raja hanya mengamati.
Kini, Kelana yang diseret dengan begitu bengisnya. Lagi-lagi, ia dibuat bersujud.