Berhari-hari sudah Kelana terbaring di ruang kesehatan itu. Ia sendirian, hanya sesekali tabib datang untuk memberinya obat oles, juga terkadang makan dan minum. Makanan untuknya tidak pernah begitu layak, hanya beberapa potong umbi-umbian, terkadang pisang-pisang yang sudah teramat matang sampai tekstur dan warnanya berubah. Ia rindu makanan-makanannya yang biasa ia makan, ia rindu kopi. Ia ingin kembali ke tubuhnya, tubuh Kelana yang didamba banyak orang.
Tunggu, jiwanya berada di tubuh Sekar, lalu apakah jiwa Sekar ada di tubuhnya? Apakah mereka bertukar jiwa? Jika itu terjadi, Kelana berharap semoga Sekar tidak melakukan hal-hal yang akan merugikannya.
Lamunannya buyar, dua orang prajurit datang kepadanya. "Cepat ganti kainmu yang lusuh itu, kau harus segera menghadap pangeran!"
Kelana tersentak, sebenarnya psikisnya agak terguncang karena beberapa hari berada di tempat ini. Cambukan beberapa hari lalu benar-benar meninggalkan trauma tersendiri.
"Cepat!" gertak prajurit itu, sembari melemparkan dua helai kain ke wajah Kelana.
Setelah dua prajurit itu keluar, Kelana dengan tertatih-tatih melilitkan kain yang setidaknya lebih bersih itu ke tubuhnya. Ya, setidaknya ini lebih manusiawi. Satu helai untuk tubuh bagian atas dan satu helai sebagai rok. Kelana benar-benar terlihat sepeti perempuan kuno.
Ia keluar dari bilik, takut-takut ia bertanya, "Apakah tidak ada alas kaki untukku?"
"Kau jangan bercanda. Di wilayah kerajaan, yang memakai alas kaki hanya keluarga kerajaan dan pejabat."
Setelah mengatakan itu, Kelana kembali diseret untuk masuk ke sebuah bangunan megah. Dulu, saat berkuliah di jurusan Sastra Indonesia, ia sempat belajar aksara Jawa kuno pada mata kuliah filologi. Jadi, ia bisa membaca plang tulisan di bagunan itu, 'Pangeran Bhumi Malati'.
Ah, istana pangeran.
Pangeran tengah membaca sesuatu ketika Kelana disungkurkan untuk bersujud kepadanya.
"Aku masih ada urusan. Kau akan diajari aturan menjadi pelayanku oleh kepala pelayan. Prajurit, bawa ia kepadanya!"
Kelana kembali dibawa, katanya untuk menemui kepala pelayan. Sungguh, Kelana muak dengan ini semua. Tapi, bayangan cambukan masih begitu ketara di pikirannya. Ia tidak ingin mengalaminya lagi, terpaksa ia akan mengikuti alur. Setidaknya sampai ia memiliki rencana matang untuk kabur.
Kepala pelayan itu pria, kira-kira awal empat puluhan. Ia memakai busana yang layak, lagaknya seperti orang penting saja. Mukanya sengak, seperti seorang perisak. Bah, bahkan ada hierarki sesama pelayan. Sekarang ini, ia harus bersimpuh di hadapan kepala pelayan itu.
"Kau si pelayan pribadi pangeran yang baru, harus kau ingat segala aturan jika tidak ingin dicambuk atau bahkan dipenggal."
"Ingat, meskipun kau bukan budak yang mengerjakan pekerjaan kasar seperti sebelumnya, kau tetaplah seorang hamba. Tuanmu adalah pangeran Bhumi, kau miliknya, kau bebas diapakan saja olehnya."
"Setiap hari, kau harus siaga di sekitar pangeran untuk melayaninya. Bahkan ketika malam, kau akan tidur di depan pintu kamar pangeran untuk berjaga-jaga jika ia memerlukan sesuatu. Tidurlah dalam posisi bersujud."