Kelana Bumi Langit

Adrindia Ryandisza
Chapter #8

LANGIT: Uang Setan

 Setiap aksi menimbulkan reaksi. Begitulah mata rantai aksi-reaksi. Seperti satu percikan pada genangan air yang akan memperlihatkan riak. Tatapan iri dan penuh tanya sering mengekori langkah keluarga kecil Langit. Rumahnya kerap didatangi tamu. Biasanya tamu itu menceritakan kisah lara yang dialami dan berharap mendapatkan bantuan. Ibu memilih untuk tidak membantu karena satu mulut akan terdengar banyak telinga. Satu orang dibantu akan muncul banyak orang yang akan mencoba peruntungannya.

Ibu memilih mencari aman daripada mengundang curiga walaupun tahu keluarganya dijadikan bahan gunjingan karena pelit dan tidak ingin membantu. Ibu yang sebelumnya selalu memiliki paguyuban ibu-ibu pun dikucilkan. Bahkan, tukang sayur ikut-ikut memihak ibu lain. Menjual barang jualannya lebih mahal kepada Ibu.

Bisik-bisik itu, lambat laun, sampai juga ke telinganya. Segala ejekan mengenai penampilan baru yang menjadi sasaran empuk. Apa pun yang dilakukan oleh ibunya itu akan menjadi bahan cibiran. Menggunjing orang yang dikenal lebih mantap dan menyenangkan dibanding selebriti.

“Yuli gayanya kayak oke aja.”

“Sok cantik.”

Dibandingkan mendengar itu sepanjang hari dan membuat telinganya panas, Ibu tetap bekerja menjadi tukang cuci dan setrika. Bagaimanapun juga Ibu harus tetap bekerja agar tidak semakin mencurigakan. Parfum mahal masih kalah wanginya dengan pewangi dan pelicin pakaian. Aroma favorit Langit.

Di lain sisi, Ayah jadi senewen. Ibu yang menjadi enak untuk dipandang membuat Ayah posesif dan obsesif. Ayah bingung kenapa Ibu tetap bekerja meskipun memiliki uang banyak dan menuduh Ibu genit ke laki-laki lain. Terutama, hasutan dari mulut usil teman-teman di pabrik kompos. Tentu saja, Ibu menyangkal karena kenyataannya memang demikian.

Suara lantang yang bersahutan pada malam hari membuat Langit menutup kuping dengan kedua tangannya. Namun, membuat para tetangga menjadi menghentikan kegiatan mereka karena ingin curi dengar untuk dijadikan bahan perbincangan besok pagi. Tentang keadaan rumah tangga yang sering berseteru.

Emosi yang memuncak akhirnya membuat mereka diam-diam mengambil beberapa lembar dari uang yang disembunyikan. Mereka berasumsi bahwa masih ada uang di tempat persembunyian yang lain. Perihal ini menjadi siklus yang menggerogoti layaknya virus. Bahkan, mereka tidak repot-repot mencatat selama beranggapan hanya mengambil beberapa lembar tidak akan berkurang secara signifikan.

Akhir-akhir ini Langit susah tidur. Dia malas menjadi saksi bisu pertengkaran Ayah dan Ibu yang repetitif. Meskipun ingin menyangkal, Langit tahu uang adalah akar permasalahan. Punya atau tidak, uang selalu menjadi akar perdebatan yang akrab untuk kehidupan berkeluarga. Terutama, segalanya memang membutuhkan uang.

Siang ini Langit memilih menaiki sepedanya sepanjang hari alih-alih berpetualang bersama dinosaurus. Langit harus selalu waspada mengendarai sepeda karena truk selalu memadati jalan di daerah rumahnya. Dia juga tidak memiliki tujuan yang pasti hanya mengayuh pedal sampai perutnya terasa lapar. Kemudian dia tahu betul harus ke mana.

Langit menaruh sepedanya dengan disandarkan pada tembok yang terbuat dari batu bata saling bertumpukan. Dia menyembulkan kepalanya dari pintu masuk warung makan. Pandangan matanya mengedar, tetapi sosok yang dicari tidak ada. Belum pulang sekolah, asumsinya.

Ketika Langit hendak masuk, dia melihat anak laki-laki sepantaran. Anak itu terlihat membasahi mulutnya. Potongan rambutnya sangat kekinian. Bajunya juga baju bagus. Kulitnya putih dan bersih. Anak itu memeluk seekor kucing. Dilihat sekejap saja, Langit tahu anak itu bukan dari daerah sini. Persamaan keduanya adalah mereka terlihat kelaparan.

“Temennya Bumi?” tanya Langit.

Anak itu mengernyit. Kemudian menggeleng.

Langit hanya bergumam. “Kamu laper?”

Anak itu mengangguk.

“Ya, udah. Makan bareng yuk.”

“Uhm.”

“Udah, makan aja. Aku punya uang banyak. Tapi kucingnya jangan dibawa masuk.”

Lihat selengkapnya