Kelana Bumi Langit

Adrindia Ryandisza
Chapter #9

KELANA

 Nama adalah doa orangtua, katanya. Ketika Kelana lahir, orangtuanya berharap anak laki-laki mereka dapat berkelana dan melihat dunia. Namun, manusia itu pelupa. Apalagi sudah dimakan waktu dan pikiran yang tersita, harapan itu jadi usang. Tahu-tahu menjelma menjadi barang berdebu yang ditaruh di gudang.

Namanya Kelana, tetapi tidak pernah ke mana-mana. Ruang lingkupnya begitu sempit. Sekolah dan rumah. Guru les juga sampai datang ke rumah. Rutinitasnya bergulir seperti itu. Kehidupannya terprogram dengan harapan menjadi orang yang dapat menghadapi realitas kehidupan. Kalau bisa, sampai menjadi orang yang sukses.

Hanya saja Kelana tidak yakin bahwa kenyataan dari kehidupan hanya berupa nilai akademis semata. Seolah yang perlu dipelajari hanya materi sekolah. Padahal kehidupan yang sebenarnya mungkin terlupakah.

Orangtuanya berharap Kelana menjadi penerus usaha mereka nanti. Bisa jadi segalanya dijadikan bisnis oleh orangtuanya. Mungkin saja Kelana adalah bentuk investasi. Berharap bahwa Kelana bukan termasuk investasi bodong. Terutama, setelah mengeluarkan banyak biaya untuk sekolah yang terbaik.

Dibanding kedua orangtuanya, Kelana lebih sering menghabiskan waktu dengan Bibi. Semuanya akan diurus oleh Bibi. Apa yang dimakan oleh Kelana. Kegiatan apa yang akan dilakukan Kelana. Semua keperluan anak itu. Dulu Bibi juga merawat ibunya Kelana sewaktu masih kecil sampai akhirnya ibunya punya anak kecil. Selain itu, Bibi selalu menceritakan kisah hidupnya. Kelana merasa lebih banyak belajar dari pengalaman hidup Bibi dibanding sekolah.

Semua orang rumah memanggilnya Bibi. Menurut Kelana, lebih cocok dipanggil Nenek. Sudah tua. Keriput sana dan sini. Tangannya kadang suka gemetar. Kulitnya sudah mengendur. Namun, Bibi selalu berhasil membuat Kelana terhibur. Terutama, kisah-kisah hidupnya selalu seru. Kelana bercita-cita untuk berkelana ke tempat yang pernah didatangi Bibi sewaktu muda. Tempat yang jauh dari kota dengan gedung menjulang dan polusi yang terkadang mengantarkan bau sampah dari kejauhan.

Meskipun Bibi sudah tua, kinerjanya tidak perlu dipertanyakan. Segalanya selesai. Tidak pernah menunda. Cekatan dan tidak terkontaminasi gawai sehingga fokus. Bisa jadi kinerja anak muda kalah. Bibi juga apik. Tidak heran Ibu meminta Bibi untuk mengurus rumah tangganya sampai sekarang dan membayarnya dengan mahal.

Kelana sudah terbiasa kedua orangtuanya sibuk bekerja untuk menumpuk pundi harta. Kesibukan mereka menghasilkan rumah berlantai dua yang megah. Bahkan, aroma busuk sulit menyelinap masuk. Kalaupun berhasil menjadi tamu tak diundang, pewangi ruangan akan membuatnya hilang. Sang sopir, Bapak Jono, selalu siap menjemput dan mengantar Kelana ke sekolah. Semua fasilitas yang membuat Kelana merasa nyaman, kecuali mengusir kesepian.

Melihat Ayah dan Ibu, Kelana tidak ingin cepat menjadi orang dewasa. Banyak yang harus diurus dan dibayar. Kelana cukup merasa pusing dengan pekerjaan rumah, tidak mau menahan beban orang dewasa. Pasalnya rumah dan segala kemewahan yang menjadi alasan utama kesibukan mereka, tidak berhasil menghilangkan wajah lelah kedua orangtuanya. Seolah semuanya tidak cukup. Seolah Kelana tidak cukup.

“Bi, apa aku ini bukan anak baik?” tanya Kelana. Di hadapannya terdapat satu potong kue sebagai makanan penutup. Kelana hanya menyentuh ujung kue itu dengan garpunya. Sepasang matanya mengamati serpihan berjatuhan ke sisi pisin.

Bibi mencuci piring kotor di dapur. Suara air dari keran pun tidak lagi terdengar seiring derit besi keran ditutup. Mengabaikan tumpukan piring yang belum dibilas, Bibi menghampiri Kelana di meja makan. Seharusnya meja makan tidak usah sebesar itu. Ada kursi makan untuk enam orang. Namun, yang mengisi kursi itu hanya Kelana. Kedua orangtuanya saja jarang. Beli mahal hanya untuk dijadikan pajangan.

Lihat selengkapnya