Kelana mengira bahwa dia tahu rasanya kesepian. Dia salah. Memang ada rasa rindu yang menyeruak ketika kedua orangtuanya tidak menyempatkan waktu untuknya, tetapi dia akhirnya terbiasa. Berbeda dengan Bibi. Keseharian selalu bersama Bibi. Tidak ada Bibi di rumahnya membikin rumah ini berbeda. Dia tidak terbiasa dengan kehilangan. Rumahnya semakin suram, Kelana sering bermasam.
Masih belum percaya, Kelana berpikir bahwa Bibi masih berada di desa. Tahu-tahu nanti akan kembali datang membawa aroma balsam dan membawakan sayur-mayur hasil dari kebun di kampung. Kelana merasa bersalah karena tidak pergi ke desa untuk pemakaman Bibi. Namun, dia tidak menyalahkan orangtuanya yang terlalu sibuk. Dia mencoba untuk tidak menyalahkan orang lain, selain dirinya. Baru kali ini Kelana merasa ingin cepat dewasa dan memiliki uang sendiri. Kalau seperti itu, Kelana bisa pergi sendiri untuk menghadiri pemakaman Bibi.
Tidak ada Bibi bagi Kelana adalah kehilangan.
Tidak ada Bibi bagi Ibu dan Bapak Jono adalah kerepotan.
Bapak Jono tidak hanya berurusan membawa mobil membelah kemacetan Jakarta, tetapi juga membersihkan rumah. Ibu juga sering mampir ke rumah untuk membawa makanan untuk Kelana. Selama ini, Ibu sangat percaya dan mengandalkan Bibi untuk urusan perut. Oleh karena itu, Ibu tidak asal memesan makanan diantar.
Pada label kotak makannya terdapat berapa kalori dan kandungan nutrisinya. Bagi Ibu, itu semua baik untuk pencernaan dan pertumbuhan Kelana. Katanya makanan sehat, tetapi enak. Sayangnya, Kelana sedang kehilangan nafsu makan. Dia masin mencoba beradaptasi dengan segala perubahan yang ada.
Kelana agak salah tingkah melihat Ibu duduk bersama dengannya di meja makan. Pandangan Ibu masih terpaku ke layar ponselnya. Kelana sesekali mencuri pandang ke Ibu dari makanan yang dibawakan. Rasanya masih kalah dengan masakan Bibi. Pada akhirnya Kelana tetap memakannya dengan lahap karena dirinya harus menjadi anak baik.
Anak yang baik adalah yang diharapkan semua orangtua, bukan?
Anak baik yang akan disayang oleh orangtua, bukan?
Ibu mendesah. Tangannya menaruh ponsel lalu memijat pelipisnya. Ibu belum menyentuh mangkuk sayurannya. Melihat Ibu tanpa dibatasi ponselnya, wajah Ibu jadi lebih terlihat jelas. Riasan wajah Ibu berhasil menyamarkan guratan halus maupun bintik hitam di wajah. Namun, gagal menyembunyikan rasa gundah dan lelah.
“Bibi memang sudah tua,” ujar Ibu, seolah dapat membaca pikiran Kelana.
Dibandingkan memulai percakapan, Ibu terdengar menggerutu. Hal ini membuat Kelana bingung harus menanggapi bagaimana. Jika berhadapan dengan Bibi, Kelana tidak pernah merasa linglung. Dia selalu bisa berbicara bebas dengan Bibi. Berbeda kalau berhadapan dengan ibunya, Kelana merasa harus menjaga sikap dan tidak merengek seperti anak kecil. Walaupun kenyataannya, Kelana memang seorang bocah.
“Kamu tau kalau Bibi juga ngurusin Ibu waktu kecil?” tanya Ibu, dahinya mengernyit. Memorinya tengah menggali informasi lampau. “Ibu udah pernah cerita, ya?”
Kelana mengangguk walaupun tidak sepenuhnya benar. Bibi yang bercerita, bukan Ibu. Mulutnya masih mengunyah. Sudah terbiasa menghaluskan makanan lebih dulu agar mudah dicerna. Ususnya manja. Salah makan sedikit, bisa menyebabkan perutnya melilit seperti tali sepatu yang disimpul.