Pagi hari ini seharusnya sama saja seperti biasanya. Bapak Jono akan mengantar Kelana sampai gerbang sekolah. Namun, hari ini, Kelana membalikkan badannya alih-alih memasuki wilayah sekolah. Tekadnya sudah bulat. Kelana berani bertaruh nyalinya tidak akan ciut.
Semoga saja.
Tidak ingin dikenal dari seragamnya, Kelana sudah mempersiapkan baju sehari-hari di dalam tasnya semalam. Ransel yang semula sudah melahap pekerjaan rumah dan diganti dengan barang-barang yang rasanya diperlukan untuk anak lari dari rumah. Semalam juga Kelana mencari tahu di internet tentang apa yang harus dilakukan kabur dari rumah.
Membawa baju ganti. Sudah.
Mematikan ponsel. Sudah.
Membawa uang tabungan. Sudah.
Membawa camilan dan air minum. Sudah.
Dengan persediaan itu semua, ranselnya lebih berat dibandingkan menampung buku pelajaran tebal. Seolah bawa batu.
Semuanya sudah dipersiapkan, kecuali tujuan. Kelana belum tahu pasti destinasinya. Selama ini, dia hanya tahu rute rumah-sekolah. Jalan saja dulu, pikir Kelana. Bisa saja kakinya tahu harus membawa dirinya ke mana.
Sempat terlintas satu gagasan gila di dalam benaknya. Kelana mendatangi desa asal Bibi. Namun, niat itu diurungkan karena lebih baik memulai dari langkah kecil. Lagi pula, Kelana tidak begitu kenal dengan keluarga Bibi. Hanya sekadar cerita-cerita yang mengisi kekosongan waktu. Kelana tahu ada anak Bibi yang membawa harta warisan ayahnya. Ada juga anak yang kerjanya berjudi pakai ayam yang bertarung. Hanya saja wajahnya yang bagaimana, tidak tahu.
Satu langkah Kelana menjauh dari sekolah adalah awal perjalanannya. Dia bisa menyandang namanya dengan dagu terangkat. Akhirnya, Kelana berkelana.
*
Ponsel yang dimatikan membuat Kelana tidak dapat melihat peta. Dia memilih untuk menyusuri jalan familier. Tiap derap langkahnya diikuti oleh batuk. Kelana baru tahu rasanya terpapar polusi udara. Biasanya terlindung menggunakan pendingin ruangan ataupun atap mobil. Kalau seperti ini, Kelana harus membeli masker terlebih dulu. Terutama, melihat asap hitam dari knalpot angkutan umum tidak layak beroperasi. Sungguh risi. Rasanya paru-parunya dihinggapi banyak debu dan kotoran.
Kelana tidak bisa membayangkan mereka yang setiap hari bertarung dan menghadapi kendala. Dia baru menyadari bahwa hidupnya begitu sempit. Seperti burung yang mungkin lupa cara terbang karena terlalu lama mendekam di sangkar.
Langkah Kelana membawanya ke salah satu swalayan. Banyak kendaraan yang terparkir di lahannya. Ada mereka yang berbaris seperti semut menunggu giliran di ATM. Semua orang yang berserobok dengannya terlihat terburu-buru. Seolah saldo uang akan berkurang jika terlalu bersantai.
Satu-satunya yang terlihat santai adalah seekor kucing hitam yang bergelung di dudukan motor. Motor milik siapa pun rasanya kucing itu tidak peduli. Enaknya, pikir Kelana, kerjaannya tidur dan tidak ada beban.
Kelana menancapkan pandangannya pada si kucing. Tidak lama, kucing itu mengeong. Mungkin merasa tidak nyaman karena diperhatikan seperti itu.
“Eh, maaf, aku ganggu kamu tidur, ya?” tanya Kelana. Dia selalu suka kucing, tetapi tidak pernah diperbolehkan untuk memeliharanya. Oleh karena itu, setiap ada kesempatan semacam ini, Kelana akan mengamati sampai puas.