Kelana Bumi Langit

Adrindia Ryandisza
Chapter #12

KELANA: Warung Makan dan Sebuah Puisi

 Perjalanan begitu berat jika perut terasa lapar. Teman kucingnya saja sudah menyerah lebih dulu. Kelana harus menggendongnya agar teman seperjalanannya tetap ikut. Untungnya, dia tidak dicakar ataupun digigit. Si ekor hanya meringkuk di dekapannya seperti bayi.

Dalam petualangannya ini, dia begitu takjub bertemu orang dengan berbagai macam tabiatnya. Nenek yang ternyata penipu. Katanya nenek itu hanya mencari uang dengan berakting, seperti artis di layar televisi. Bedanya nenek ini melakukan pertunjukan langsung. Kemudian Kelana bertemu dengan tukang parkir yang memiliki kisah asmara mengenaskan. Bahkan, Kelana berpapasan dengan orang yang tidak sengaja tersenggol, tetapi marahnya seperti Kelana baru saja mencuri sesuatu darinya. Mungkin itu yang disebut dengan istilah Bapak Jono berupa senggol dan bacok.

Ada orang yang tidak sengaja melihat kejadian tersebut berkata orangnya memang seperti itu. Bapak Tarno kalau Kelana tidak salah ingat. Katanya semua orang dianggap penagih utang oleh bapak satu itu. Belum pernah Kelana dimarahi orang lain. Padahal, kenal saja tidak. Setengah yang dibicarakan bapak tambun itu pasti tidak lulus sensor kalau menjadi dialog sinetron. Orangtuanya yang memarahinya saja tidak pernah sekasar itu.

Ternyata selama ini Kelana tidak tahu apa-apa. Orang belum tentu baik. Kelana tidak bisa seenaknya menilai mereka. Hidup itu ternyata keras dan khalayak tidak setulus itu. Orang-orang yang bertemu dengannya tidak seperti kisah dongeng menyenangkan yang dibelikan ibunya di toko buku. Lebih mirip seperti kisah hidup Bibi yang dikecewakan oleh anaknya sendiri.

“Aku sudah tidak kuat lagi, Cing.” Kelana mengusap keringat menggunakan punggung tangannya. Bibirnya pecah-pecah. Tenggorokannya terasa kering. Kalau dipikir-pikir, ini kali pertamanya Kelana berkeringat sampai kuyu. Belahan rambutnya basah sampai menutupi dahinya.

Pandangan mata Kelana tertancap pada sebuah warung makan. Langkahnya mempertipis jarak, tetapi Kelana masih enggan untuk masuk. Dia mengamati dari luar. Semuanya terlihat makan dengan lahap. Perutnya semakin berteriak. Dalam benaknya, Kelana menimbang apakah saluran pencernaannya bisa memakan dari warung makan tersebut. Kalau sakit perut, Kelana bisa menumpang toilet ke mana? Apa mungkin mencari toilet umum? Namun, pasti berbayar. Kelana harus berhemat-hemat uangnya.

Dibandingkan memikirkan uang yang tersisa, sebenarnya Kelana lebih berat memikirkan apakah perutnya dapat menerima makanan di warung itu. Kalau sakit perut seperti skenario yang terbayang, bisa gagal rencana kabur dari rumahnya.

Tiba-tiba saja seorang anak bertanya apakah dirinya teman Bumi dan merasa lapar. Kelana menduga akan dipalak. Tahunya diajak makan bersama dan Kelana tidak perlu mengeluarkan uang. Anak itu keling, tetapi senyumnya cerah. Dikira akan buntung, ternyata Kelana untung.

*

Makanan di warung makan itu mengingatkan Kelana pada cita rasa masakan Bibi. Seolah di belakang dapur ada Bibi yang sengaja bersembunyi. Namun, mau dicari sampai seharian, Bibi tidak akan ada di sana untuk memberikan kejutan kepada Kelana. Bahkan, bau sampah yang menguar samar dari kejauhan tidak mengganggu nafsu makannya. Sudah terlalu lapar, mungkin.

Konon katanya orang lapar itu bisa melihat kecoak seperti kurma. Juga anjing jenis pudel berwarna cokelat seperti ayam goreng tepung dari restoran yang jagonya ayam.

Kelana baru tahu nama anak yang berjasa padanya itu Langit. Dia tahu dari bapak pemilik warung. Namun, Langit sudah lebih dulu pergi dan, untungnya, Kelana sempat berterima kasih. Ternyata Kelana masih bisa bertemu dengan orang yang baik. Jadi, kesannya terhadap dunia luar tidak seburuk itu.

Masih menghabiskan es jeruk, Kelana masih duduk di kursi panjang. Dia baru menyadari adanya satu buku di atas etalase. Agak penasaran kenapa ada buku di sana. Sempat terpikir bahwa buku itu persediaan kertas untuk membungkus gorengan yang akan dibawa pulang. Tahunya bukan. Soalnya buku itu dilaminating dengan rapi.

“Pak, saya boleh baca?” Kelana meminta izin lebih dulu.

“Boleh. Sengaja ditaruh di situ biar ada yang baca.” Bapak itu melongok dari balik etalase. “Ada puisi anak saya, lho. Kau harus baca.” Bapak itu tersenyum bangga. Ternyata sengaja meletakkan buku itu di atas etalase agar pelanggannya membaca. Ibunya juga begitu. Sering memamerkan nilai ujian Kelana yang bagus. Ternyata semua orangtua memang ingin membangga-banggakan anaknya.

Kelana meraih buku itu dan membuka halaman pertama. Melihat daftar isinya dengan cermat. “Yang mana, Pak?”

“Yang namanya Bumi.”

Kelana mengangguk-angguk. Pantas saja Langit itu bertanya apakah dirinya teman Bumi. Ternyata Bumi itu anak dari pemilik warung makan. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mencari puisi karya Bumi. Puisinya terletak di awal buku. Setelah kata pengantar bahwa anak-anak Bantar Gebang juga penyair cilik. Bahwa di balik yang diketahui sebagai pembuang terakhir ternyata terdapat permata di dunia kesusastraan.

Siapa Aku?

Aku tidak terdefinisikan dari kata mereka

Aku bukanlah teka-teki untuk diterka

Untuk apa berasumsi

Kalau kita dapat berinteraksi

Lihat selengkapnya