Kelana Bumi Langit

Adrindia Ryandisza
Chapter #2

BUMI: Celangan Ayam dan Seragam Baru

 Tidak ada yang baru. Ejekan yang tertuju kepada Bumi masih sama seperti kemarin dan hari kemarinnya lagi. Mungkin karena tidak banyak baca buku, kata yang meluncur itu-itu saja. Mereka kurang bergaul dengan Bapak Tarno dan kamus kebun binatangnya. Bisa jadi kalau Bumi menyebut salah satu kata andalan Bapak Tarno, teman sekolahnya menganggap itu bahasa planet lain.

Bumi keluar kelas dengan kedua tangan menggenggam selempang tas. Berbondong-bondong, mereka yang usil mengekori Bumi seperti induk dan para itik. Seolah menyanyikan lagu nasional, mereka melantunkan ejekan begitu harmonis. Mungkin karena terus dipraktikkan tiap sepulang sekolah.

Untungnya setiap masuk sekolah, telinga Bumi tidak perlu mendengar suara nyaring mereka. Jika tidak berkumpul, mereka diam. Berani kalau ramai. Tidak apa-apa, pikir Bumi, setidaknya ada waktu bersantai.

“Bumi aneh.”

“Gak punya temen.”

“Suka jelejeh.”

“Gak ada yang demen.”

Bersahut-sahutan lalu diakhiri tawa yang lantang. Setiap ada orang yang menegur, mereka akan berkilah mengatakan bahwa itu hanya candaan semata. Namun, hal itu dapat dikatakan candaan jika orang yang ditunjuk juga merasakan hanya gurau dan tertawa bersama mereka. Sayangnya, Bumi tidak merasa demikian.

Setiap kata jelejeh terdengar, Bumi menyentuh sudut bibirnya. Memastikan bahwa tidak ada air liur kering meninggalkan jejak di sana. Di lain sisi, Bumi ingin memberi apresiasi kepada mereka yang masih mementingkan ejekannya berima. Nada lagunya dapat membuat orang yang kali pertama dengar pasti langsung terngiang-ngiang.

Berkat sering membaca buku, Bumi bisa mengalihkan perhatian ke hal detail lain dibanding harus sakit sampai relung hati.

Bumi hanya bingung. Kenapa mereka harus berlaku jahat kepadanya? Seolah dirinya tidak memiliki perasaan. Seolah kata-kata mereka adalah tinju yang dilayangkan pada samsak. Padahal, rasanya sesak.

Selain itu, Bumi juga lelah harus menunduk setiap langkahnya diantar oleh mereka. Pegal lehernya.

Bumi bertekad mencari tahu supaya mengakhiri cemooh yang diterimanya. Namun sebelum itu, Bumi harus mengumpulkan kepercayaan diri untuk bisa melakukan konfrontasi.

*

“Kalau ada yang jahat ke Ibu, apa yang akan Ibu lakukan?” tanya Bumi setelah salam kepada ibunya yang sedang mengisi ulang telur dadar di salah satu piring kosong etalase.

“Kenapa memang? Ada yang jahatin kau?” Insting yang membuat Ibu membalikkan pertanyaan alih-alih menjawab. Satu telur dadar mendarat di alas etalase. Meleset karena perhatian Ibu tertuju pada Bumi.

Bumi menggeleng. Setidaknya, dia tidak mengucapkan kebohongan dari mulutnya.

“Bener?”

Lihat selengkapnya