Kelana Bumi Langit

Adrindia Ryandisza
Chapter #3

BUMI: Puisi dan Ibu Suri

 Dengan seragam baru yang masih cerah, bahkan matahari kalah terang karena langit mendung, Bumi berjalan ke sekolah. Para tetangga yang dilewati rumahnya satu per satu menyadari dan menyapa Bumi dengan seragam barunya. Ternyata, kepala agak mendongak juga membuat lehernya sama saja pegalnya dengan menunduk.

“Cieee… seragam baru, nih.”

“Cakep! Pada udah bayar utang makan, ya?”

“Bumi, pangling pisan euy.

Tidak banyak yang menyadari Bumi juga memakai sepatu baru. Mungkin karena letaknya di bawah dan menjadi alas kaki. Pada akhirnya, akan terkena debu dan kotor. Memang orang lebih suka melihat yang di atas ketimbang yang ada di bawah.

Ayam tetangga yang melihat kedatangan Bumi langsung terbirit-birit ke arah yang berlawanan. Masih syok menjadi saksi Bumi memecahkan celengan ayam, sepertinya.

Bumi berpapasan dengan Bapak Tarno yang berada di ambang pintu rumahnya, nyaman dengan kutang dan sarung. Pagi-pagi mulut Bapak Tarno sudah kotor. Mulutnya sudah berpolusi dan mencemari telinga milik orang sekitar. Ada saja perihal yang bisa menjadi keluhan. Saat ini adalah motor. Mogok.

Kepala Bumi menggeleng melihat tingkah pria paruh baya itu. Dia berlangkah cepat-cepat. Tidak ingin Bapak Tarno mencegat. Selain itu, Bumi ingin segera tahu apa yang akan terjadi di sekolah. Mereka akan melihat Bumi mengenakan seragam yang sama bersihnya dengan mereka. Pasti dengan ini, dirinya akan diterima, bukan? Tidak lagi merasa kerdil.

Dengan seragam baru yang dikenakan, dia tampak sama dengan mereka yang melangkah masuk gerbang sekolah dasar negeri. Seperti pasukan semut yang mendapati kabar adanya sisa makanan terjatuh di lantai.

Untuk kali pertamanya, Bumi berbaur di dalam kerumunan itu.

Untuk kali pertamanya, Bumi merasa percaya diri. Perasaan yang mulai menyala seperti api lilin yang berpendar di tengah pemadaman listrik.

*

Bumi melangkah memasuki ruang kelasnya. Namun, matanya tetap tertuju pada ujung sepatunya. Dalam benaknya, Bumi menghitung langkahnya untuk mencapai meja miliknya yang berada tepat di sudut belakang. Sudah hafal tata letak kelas. Kemudian dia menduduki bangku dan menaruh tas selempangnya di atas meja. Kedua tangannya terlipat di atas meja saling berkelindan.

Perlahan, Bumi mengangkat wajahnya. Matanya menatap berkeliling seisi ruangan kelas. Ada beberapa anak yang menoleh ke arahnya. Saat pandangan mereka berserobok, anak itu langsung menghadap kembali ke depan. Pura-pura mengamati papan tulis yang masih kosong.

“Lho? Mana si dekil?” Satu anak berceletuk.

“Kayaknya enggak sekolah, deh,” sahut bocah lain.

“Hiii… tapi tadi kursinya gerak.”

“Hantu kali.”

Tawa pun pecah. Bumi langsung merasa kalah. Mereka bersahutan tidak menganggap kehadiran Bumi. Tawa dan cemooh itu bergaung sampai perut Bumi mulas. Kedua tangannya saling meremas. Wajahnya dipenuhi gurat cemas,

Bumi tidak tahu mana yang lebih buruk. Diejek atau dianggap tidak ada. Dia hanya duduk dan menunduk. Perasaan sia-sia membeli seragam baru muncul. Rasa percaya diri itu tidak bertahan lama seolah hanya ilusi. Menumpang lewat.

Suara riuh yang sebelumnya memekakkan telinga langsung hening seiring guru memasuki ruangan kelas. Murid lainnya kembali berperan seperti anak baik. Jika ketahuan mengolok-olok, mereka akan membela diri bahwa itu hanya candaan bukan merundung. Seperti hujan yang pasti akan reda, guru itu membawa kabar baik untuk Bumi.

Pelajaran pagi ini dibuka dengan sebuah pengumuman mengenai lomba puisi.

“Sekolah dasar satu kecamatan Bantar Gebang mengadakan lomba puisi. Kalian yang tertarik bisa hubungi saya saat istirahat nanti. Kalian bersaing dengan sekolah dari keempat kelurahan lainnya. Kalau menang, tentu saja, ada hadiah yang menanti.” Ibu Marini, guru Bahasa Indonesia, menjelaskan.

Ibu Marini adalah kemenakan Ibu Suriyati. Sepasang matanya sudah tertuju pada sosok Bumi. Ada ekspektasi di sana. Ibu Marini mengetahui giatnya Bumi dalam membaca buku koleksi bibinya. Terutama, Ibu Suriyati selalu memuji-muji Bumi.

Bumi tersenyum. Seseorang mengakui keberadaannya, setidaknya. Dia merasa ada. Tidak lagi hilang menjadi hantu kelas.

Lihat selengkapnya