Kelana Bumi Langit

Adrindia Ryandisza
Chapter #4

BUMI: Prestasi dan 'Ibu'

 Melalui karya puisinya, Bumi berharap akan meninggalkan jejak di dunia. Meskipun bukan prasasti, tetap ada namanya terukir pada sebuah buku. Rangkaian kata yang selama ini terpendam dalam relung hati sudah tak terelakkan. Semuanya mendesak ingin dimuntahkan seperti perut pemudik yang terlalu lama terombang-ambing dalam liku perjalanan. Dengan kata lain, Bumi berhasil mengekspresikan dirinya.  

Yang kali pertama membaca karya puisinya adalah Ibu Suri. Reaksinya adalah air mata yang menitik. Bedak rias Ibu Suri memudar. Mungkin saja salah lihat, tetapi Bumi juga merasa sasakan rambut Ibu Suri ikut mengempis.

Jangan-jangan sasakannya itu tangki air, tebak Bumi asal dalam hati.

Bumi berspekulasi bahwa air mata itu pertanda sesal telah membaca puisi miliknya. Namun, Ibu Suri berkata bahwa tujuan dirinya membuat perpustakaan dan membayar anak-anak membaca buku telah diraih. Menumbuhkan kecintaan anak-anak kepada dunia literatur. Bumi harus berbangga diri karena perihal tersebut. Ibu Suri berterima kasih kepada Bumi.

Aneh, pikir Bumi. Padahal, Bumi yang diberi uang. Seharusnya, dirinya yang berterima kasih kepada Ibu Suri.

Hidupnya jadi memiliki arti, begitu yang dikatakan Ibu Suri. Seolah Ibu Suri berhasil menyerahkan tongkat estafet kepada Bumi.

Setelah Ibu Suri merestui, Bumi mengirimkan puisi melalui Ibu Marini. Sejujurnya, Bumi tidak berharap banyak. Menang atau kalah, urusan nanti. Yang terpenting suaranya terdengar. Bagaimana Bumi memaknai dirinya sendiri.

Kalaupun diberi hadiah dan piala, Bumi tidak akan menolak.

*

Celengan baru Bumi kini berbentuk harimau. Ukurannya jauh lebih besar dari celengan ayam. Selain itu, dia tidak ingin membuat ayam tetangga depresi. Pun, kapasitas menyimpan uang semakin besar.

Semoga saja Ibu Suri berumur panjang dan tetap membuka perpustakaan kecilnya. Selain itu, juga menambah koleksi buku sehingga buku yang tersedia tidak menipis dan habis.

Kali ini, Bumi ingin menabung untuk sekolah. Semakin banyak yang ditabung, semakin tinggi sekolahnya. Tidak begitu peduli apakah seragam yang digunakannnya nanti itu kusam atau baru. Lihat saja nanti.

Menunggu pengumuman pemenang puisi membuat perut Bumi sering mulas, seperti perutnya diremas oleh tangan yang cemas. Dia mencoba mengalihkan fokusnya dengan membaca buku lebih banyak lagi.

Hari-hari Bumi, selain menunggu pengumuman, masih seperti biasa. Tidak ada perbedaan yang signifikan. Cat sekolah masih perpaduan hijau muda dan tua. Masih ada satu genting yang bergeser di atap sekolah. Bapak yang mengurus sepertinya masih sakit pinggang. Terkadang bau sampah juga bertandang meskipun tidak diundang. Ejekan masih mengantar kepulangannya. Setidaknya, mereka berhasil merebut perhatian perut Bumi yang mulas. Tidak lama, memang.

Pada akhirnya, Bumi hanya perlu bersabar. Waktu yang ditunggu sudah di depan mata. Hati kecilnya memang berharap bahwa puisinya diberi apresiasi. Eksistensi seorang Bumi diakui.

Biasanya kelas sebelum pelajaran pertama akan riuh sampai batang hidung guru memasuki ruang kelas. Namun, pagi ini berbeda. Setiap murid sudah menduduki bangkunya masing-masing. Seolah berjanjian, semua murid melipat kedua tangannya di atas meja. Semua pasang mata tertuju ke arah pintu kelas. Napas mereka seolah mengembuskan nama Ibu Marini.

“Selamat pagi!” seru Ibu Marini memasuki ruang kelas.

“PAGI, BU!”

Seiring Ibu Marini berjalan menuju meja guru di sisi kelas, sebagian besar murid mengembuskan napas kecewa. Tidak ada piala yang dibawa oleh Ibu Marini. Kedua pundak Bumi ikut merosot.

“Kenapa mukanya lesu? Tadi sapaannya kencang. Kuping Ibu masih berdenging ini.” Satu tangan Ibu Marini memegangi telinga di balik kerudungnya. Kemudian sepasang matanya memindai dan menancap pada sosok Bumi. “Nah, terutama kamu, Bumi! Jangan lesu begitu.”

Bumi mengangkat wajahnya. Kedua alisnya mengerut. Seperti ulat kembar sedang mengantre.

“Selamat, Bumi. Puisimu terpilih dan menjadi juara!” Antusiasme Ibu Marini menunjukkan betapa wanita itu berbangga hati terhadap Bumi.

Lihat selengkapnya