Kelana Bumi Langit

Adrindia Ryandisza
Chapter #5

LANGIT

 Tumpukan sampah yang menjulang adalah tempat Langit menghabiskan sehari-harinya. Itulah kerajaannya. Dari puncak sampah yang menggunung, Langit bisa melihat hamparan sampah begitu luas. Di sisi lain terdapat bukit sampah yang sudah ditutup terpal. Tinggi sampah seolah ingin menantang cakrawala. Dia juga bisa melihat rumahnya. Jika Langit berada di atas sana, dia merasa bisa menaklukkan dunia.

Ada yang pernah bilang kepada Langit bahwa sampah itu adalah aib orang-orang. Langit lupa siapa. Terkadang begitu. Dia lebih mengingat apa yang dikatakan alih-alih siapa yang mengatakan.

Aib dari mereka yang konsumtif dengan keadaan uang pas-pasan. Untuk menabung saja tidak ada. Berakhir dengan penyesalan hanya karena ingin tampak berada, tetapi mengada-ada. Pada akhirnya, barang yang dibeli dibuang juga. Tentang sisa makanan yang seharusnya bisa digunakan untuk makan selama seminggu. Kalau sudah dibuang, makanan mahal jatuhnya sama saja dengan makanan murah. Pada akhirnya, bau busuk dan dikerubungi lalat.

Aib dari mereka yang merahasiakan keburukannya dan membuangnya dengan harapan mereka kembali bersih. Seolah seperti bayi yang baru saja dilahirkan. Belum ada dosa menodai. Bisa jadi menyerupai kanvas putih sebelum ditoreh warna-warni kehidupan.

Langit tidak begitu memikirkan aib orang. Tidak menghasilkan uang, soalnya. Terserah saja. Dia hanya perlu mengumpulkan botol plastik. Kemudian hasil tadahannya akan didaur ulang menjadi bibit plastik. Bentuknya nyaris seperti beras. Mengenal tabiat ibunya, dia harus mengawasi yang dimasak oleh ibunya itu beras sungguhan bukan bibit plastik.

Bukan karena Langit memungut plastik lalu makannya juga plastik. Pasalnya, Langit ingin berumur panjang meskipun hidupnya begini-begini saja. Siapa tahu takdirnya berubah. Hal ini bisa diketahui jawabannya jika ia berumur panjang. Siapa tahu kemalangan sudah bosan dan meninggalkan keluarga mereka saat usianya tujuh belas tahun atau dua puluh tujuh tahun. Kapan pun itu. Satu hari saja, ia ingin tahu bagaimana rasanya jadi kaya raya.

Jika ibunya marah, akan selalu melempar ancaman untuk membuang Langit ke gundukan ini. Setidaknya, katanya, membuang sampah harus pada tempatnya. Ibunya juga bilang kalau dulu melahirkan Langit dengan cara dimuntahkan karena tidak tahan dengan bau yang menghunjam indra penciuman. Dulu, Langit percaya. Sekarang, tidak. Makanya, dulu, Langit paling menghindari ibunya mengomel. Mulutnya terlihat besar seperti bisa menelannya kembali.

Lihat selengkapnya