Kelana Bumi Langit

Adrindia Ryandisza
Chapter #6

LANGIT: Koper Hitam

 Siang itu matahari sedang genit sampai mencubit kulit. Banyak pemulung cilik yang memilih angkat kaki sampai tersisa Langit. Semakin sedikit bocah lain, semakin banyak jatah untuk ditadah. Langit tidak mau kalah. Padahal, keringat sudah menetes ritmis dari dagunya yang lancip. Rambutnya yang dicepol jadi lepek. Baju gombrangnya berat karena basah menyerap keringatnya.

Dari tempat Langit berpijak, dia mengamati truk oranye yang baru saja tiba seperti barisan semut sembari menggaruk dengkul kanan. Truk tersebut membawakan sampah yang baru diangkut. Setelah sampah itu ditumpahkan, eskavator akan mengeruk sampah yang disambut cakar eskavator lain seperti perlombaan estafet sampai ke puncak.

Langit bergegas menuju lahan yang basah itu. Dia berharap dapat menemukan banyak botol plastik ataupun barang-barang bekas yang masih layak digunakan.

Manusia itu sulit ditebak. Barang yang masih bagus saja bisa dibuang hanya karena alasan bosan. Langit berharap mereka sering-sering merasa jemu. Artinya, Langit akan mendapatkan barang yang dibuang untuk dibawa pulang.

Pundak Langit mengedik, membiarkan kain baju lusuhnya menyeka keringat yang mengocor seperti keran. Bahkan, matanya terasa pedih kemasukan peluh. Padahal, Langit harus berhati-hati melangkah jika berdekatan dengan dinosaurus yang bekerja.

Tidak terlihat orang dewasa di puncak sana. Langit selalu memilih waktu ketika yang lain sedang beristirahat dan makan siang. Mereka juga sering kongko di warung sembari menikmati teh dingin dalam kemasan gelas plastik. Setelah selesai diminum, kemasan itu langsung dimasukkan dalam keranjang tadah. Langit dan mereka sudah terbiasa menyantap makanan dan minuman bersisian dengan sampah.

Langit memindai botol plastik di antara tumpukan yang dilepaskan oleh cakar. Namun, sesuatu menarik perhatiannya. Cakar dinosaurus itu menumpahkan satu koper hitam di antara sampah lainnya.

Menurut Langit, koper itu sepertinya masih bisa digunakan. Lumayan untuk Langit bermain peran menjadi orang kantoran. Bisa juga digunakan untuk menyimpan barang-barang yang ditemukan. Tidak perlu membiarkan koleksinya berserakan.

Dengan gerakan lihai seperti pencuri ulung, Langit meraih koper itu dan membawanya ke sisi yang lebih aman. Jauh dari jangkauan dinosaurus.

Koper hitam itu terbuat dari kulit imitasi. Di pinggirnya terdapat sobekan kecil dan busanya terlihat. Koper itu terkunci rapat. Putaran kombinasinya sudah cacat.

Langit mencoba membuka paksa koper hitam. Belum berhasil.

Kemudian Langit mencari cara dengan menggunakan alat tusuk yang digunakannya untuk mengambil botol plastik. Sisi lancipnya memasuki celah antara koper hitam. Dia harus mengerahkan lebih banyak tenaga sampai akhirnya koper itu menganga. Pun, Langit ikut-ikutan menganga.

Terdapat banyak tumpukan kertas bergambarkan Bapak Soekarno dan Bapak Hatta. Kertas itu didominasi warna merah muda. Sepanjang hidupnya, Langit tidak pernah melihat uang sebanyak itu.

Tangan Langit sampai gemetar. Lantas Langit melemparkan pandangannya ke sekitar. Memastikan tidak ada yang sadar.

Perhatian Langit kembali ke dalam isi koper dan memastikan uang itu bukan uang monopoli.

Siang ini Langit tidak hanya melihat tumpukan sampah, melainkan tumpukan uang berlimpah.

*

Langit berlari secepat mungkin. Dia mengabaikan benturan berulang kali di punggungnya. Koper hitam itu dimasukkan ke dalam karung yang dipikul. Keringat yang menetes bukan lagi karena matahari menyengat, tetapi rasa terkejut sampai ingin semaput.

Gubuknya masih kosong. Ibunya pulang sore hari. Langit paling suka menyambut ibunya setelah bekerja karena aroma yang menguar adalah pewangi pelicin pakaian. Seolah ibunya itu menyemprot pewangi ke tubuhnya alih-alih pakaian yang disetrika. Ayahnya pulang agak malam. Itu pun kalau ingat rumah saat seru bermain gaple.

Perasaan Langit kalut. Dia yakin dirinya tidak berbuat salah. Seperti rutinitasnya, dirinya hanya memungut sampah yang ada. Kebetulan saja sampah ini isinya uang. Dia meyakinkan dirinya sendiri bahwa tindakannya bukanlah mencuri.

Duduk bersila, Langit mematung menatap tumpukan uang yang belum sama sekali disentuh olehnya. Seolah ingin mengabadikan dalam ingatannya. Ini bukan perihal yang terjadi begitu sering.

Langit tidak salah. Orang yang buang koper ini yang sepertinya dalam kondisi akal kurang terasah.

Dari kejauhan, Langit bisa mendengar ibunya menggerutu. Refleks, Langit menutup koper itu. Dia tidak ingin membuat ibunya menjerit melihat apa yang baru saja ditemukan oleh dirinya. Jeritan itu akan mengundang rasa ingin tahu tetangga. Bercakap-cakap saja harus berbisik karena tidak ada tembok yang membatasi. Angin ternyata biang gosip yang mengantarkan pembicaraan orang ke rumah tetangga. Persis seperti pesan berantai.

“Ngit, tadi kamu dicariin Si Edi. Tumben gak main katanya,” ujar Ibu menepuk-nepuk pinggangnya. Lemak di pinggulnya ikut bergetar. Kemudian Ibu menaruh tas yang selalu dibawa saat pergi kerja. Tas persiapan menampung jika diberi barang bekas oleh majikan.

Tidak ada reaksi. Hal yang paling sering membuat seorang ibu naik darah adalah diabaikan. Selain itu, berbicara hal yang sama lebih dari satu kali.

Lihat selengkapnya