Kelana Bumi Langit

Adrindia Ryandisza
Chapter #7

LANGIT: Prasangka Buruk

 Makan daging sapi itu enak, pikir Langit, tetapi mengunyahnya membuat rahang pegal. Mungkin harus sering-sering agar terbiasa. Namun, Langit ragu karena ayah dan ibunya sibuk menentukan uangnya untuk apa. Padahal, Langit yang menemukan dan artinya dia yang lebih berhak.

Namun, orangtuanya berkata bahwa anak kecil tidak tahu bagaimana cara menyimpan dan menggunakan uang sebaik-baiknya. Orang dewasa lebih tahu. Begitu pengakuan mereka berdua.

Langit bingung. Kedua orangtuanya masih saja bertengkar. Tidak punya uang, bertengkar. Sekarang punya uang, masih bertengkar juga. Beradu mulut sampai air liurnya menciprat ke mana-mana. Langit bergeser mencari jarak aman. Membuka payung terlalu memakan tempat dan terlalu mencolok. Bisa-bisa dirinya menjadi sasaran emosi yang salah alamat.

Melihat tingkah orangtuanya mengingatkan Langit saat berebut mainan bekas dengan pemulung lain.

Orang dewasa ternyata sama saja. Sudah begitu, mereka bersikeras menolak disamakan dengan anak kecil meskipun buktinya sangat nyata. Ujung-ujungnya Langit yang salah dan mereka yang selalu benar.

Setelah semalam begadang menghitung bersama, jumlah uang di dalam koper itu 100 juta rupiah. Keluarga kecil itu saling berpelukan. Kopernya ikut juga dan berada di tengah. Perut Langit sakit karena tertekan koper. Pelukannya terlalu erat. Langit memberontak untuk keluar dari pelukan itu, tetapi kedua orangtuanya masih tetap memeluk koper.

Koper hitam itu diperlakukan sebagai anggota keluarga baru. Adik kecil yang menyita perhatian orangtuanya, seperti bayi yang perlu dirawat sebaik-baiknya. Berulang kali membuat Langit iri.

“Kalau ternyata ini punya penjahat dan mereka lagi nyari koper ini, gimana?” tanya Langit. Skenario yang langsung mengirimkan kengerian dengan bulu kuduk meremang. Kemungkinan ini tebersit dalam benaknya karena perasaan iri. Langit juga ingin disayang. Setidaknya, dibelikan sepeda.

Ayah dan Ibu menoleh ke Langit. Wajah mereka mendadak pucat. Suasana hangat berubah menjadi mencekam.

“Ngit, kamu jangan nakut-nakutin, ah.” Ibu mendorong pelan kepala Langit. Kepala Langit meneleng ke sisi kiri.

“Tau, nih.” Pun, Ayah melakukan hal yang sama. Kini kepala Langit meneleng ke arah kanan.

Langit memilih bungkam, menelan bulat-bulat rasa jengkel. Reaksi kedua orangtuanya membuat dirinya tidak ingin menjelaskan lebih lanjut. Semua orang yang tinggal di Jakarta mengetahui ke mana sampah mereka berakhir. Kalau pemilik koper ini mencarinya ke tempat perhentian terakhir sampah, bisa saja pemilik itu menelusuri dan tidak berhenti sampai dapat. Siapa tahu mereka akan menghampiri satu per satu pemulung di tempat ini. Membayangkan hal ini membuat dirinya bergidik dan takut, seolah dihantui. Seperti film penjahat dengan pemiliknya adalah mafia dengan senjata api siap memuntahkan peluru demi merenggut kembali apa yang dimiliki.

Mungkin saja imajinasi Langit terlalu liar. Dia hanya takut senyuman cerah milik kedua orangtuanya pudar secepat mereka ketiban untung.

*

Lihat selengkapnya