Lampu penerang jalan mulai dinyalakan, menggantikan langit biru yang perlahan memudar tertutup gradasi senja. Cafe du Port, di bawah hotel Limani, Canakkale. Meja paling ujung di beranda, sofa nyaman dalam ruang setengah terbuka. Melukis, membaca atau sekedar memanjakan mata menikmati waktu sendiri, pojok ini selalu jadi pilihan Venus. Lokasi terbaik untuk memandang keindahan Selat Dardanella, di antara lalu lalang orang banyak yang juga menikmati sore di kota pelabuhan ini.
Lembayung senja dan cahaya lampu, menyemburat pendar yang terlalu elok untuk dideskripsikan dengan sebuah kata. Menggelapkan refleksi warna biru air laut, menjadikannya kontras dengan pancarona kapal-kapal yang bersandar. Siluet benteng Kilit Bahir mulai terbentuk di bawah cahaya bulan, setia menemani dalam diam.
Jari-jemarinya lentur menarikan pensil diatas buku sketsa, sambil sesekali menebar pandang jauh ke hadapan. Tampak belakang seorang wanita berpayung menggandeng anak laki-laki, tergambar indah dalam gradasi carchoal. Cat air berwarna lembayung, disentuhkannya hanya pada payung wanita dalam gambar. Membiarkan yang lainnya tetap berada dalam monokrom.
Venus meletakkan buku sktesanya dalam keadaan terbuka, membiarkan Sang bayu mengeringkan cat yang masih lembab. Cangkir berisi cinnamon hot chocolate dalam genggaman, tak kuasa membantunya menepis angin dingin yang mulai bertiup. Tiga derajat celcius, tertera di layar ponsel tepat di bawah angka 18.12 yang menunjukkan waktu. Sarung tangan berbahan kulit yang sejak tadi tergeletak di meja, kembali dikenakannya. Angin berembus sedikit lebih kencang, mengantarkan aroma kayu manis ikut terhirup bersama tarikan nafasnya. Menyadarkan Venus dari lamunan tentang kejadian tiga tahun silam.
Hari ini, tiga tahun yang lalu, kali pertama Venus menjejakkan kaki di negara Turki. Berusaha menapak dalam pelarian, belajar melangkah beserta setiap jatuh dan bangun. Hingga akhirnya bisa berdiri tegap dan meninggalkan jejak.
Bayangan rasa sakit itu masih terlalu nyata, tubuh dan hatinya merekam dengan sangat baik. Semua yang kini bisa dikatakan sebagai pelajaran, dulu bagai cambuk tanpa jeda. Cemooh dan cerca yang tidak pernah lepas sempurna. Klarifikasi berakhir menjadi bahan baru publikasi. Betapa pun kerasnya teriakan Venus “Aku tidak pernah berencana atas apa yang menimpa.” Gema yang datang justru berucap sebaliknya, ”Namun, akan terelak apabila kamu menolak”.
Kisah masa lalu memaksanya keluar dari tanah kelahiran, menetap di negara yang sama sekali tidak pernah menjadi tujuan. Beban yang diusung membuat pilihan lebih baik menjadi terasing. Calon bayi tanpa ayah dalam kandungan, buah paksaan akibat kesilapan satu malam.
***
Kandungannya yang menginjak usia delapan minggu belum jelas terlihat. Bukannya bertambah, layaknya wanita hamil, berat badan Venus justru berkurang. Masalah yang dihadapi jelas mengambil andil terbesar dalam susutnya tubuh mungil itu. Karir melukis baru saja membawanya dikenal sebagai pendatang baru yang sukses dengan beberapa pameran bersama. Suatu pencapaian yang hanya dimiliki sedikit pelukis wanita di tanah air. Namun, dengan mudahnya prestasi itu terhalang bayangan kasus yang memporak porandakan. Tidak hanya reputasi Venus, tetapi juga meniadakan keinginannya untuk terus ada di dunia ini.
“Gugurin aja, Ve. Mumpung masih kecil. Besok gue anterin.” Kalimat yang meluncur ringan dari mulut Darma jelas membuat geram perempuan yang sejak tadi menahan amarahnya. Pembicaraan yang seharusnya menjadi kompromi, mengalir semakin jauh dari solusi dalam imaji. Laki-laki itu perlahan tapi pasti mengambil ancang-ancang untuk pergi, di saat Venus paling membutuhkannya
“Elo gila, ya? Udah dosa berzina terus sekarang elo nyuruh gue nambahin dosa lagi?”
“Kok jadi salah gue? Kan elo juga enggak nolak,” demi menegaskan pembelaan diri, Darma ikut meninggikan nada suaranya.
“Ya, karena gue sayang sama elo. Elo mau tanggung jawab, kan? Lagian umur kita juga udah cukup buat nikah.” Wajah Venus berubah pucat, melemah, mengucap lirih penuh harap.