Kelana Warna

Bamby Virdawanti
Chapter #3

Kopi Karamel


Darma, laki-laki yang dikenalnya dua tahun lalu. Langsung bisa merebut hati Venus pada pertemuan kedua. Pria berkulit sawo matang, rambut ikalnya dibiarkan sedikit panjang hingga menutupi tengkuk. Tinggi sekitar 185cm, bahunya lebar, hasil dari olah raga renang yang ditekuni sejak kecil. Kalau saja kulitnya tidak gelap, banyak orang akan mengira Darma keturunan Tionghoa karena matanya yang sipit. Namun, bila berbincang dengannya maka lawan bicara akan bisa segera menduga asal pria ini. Aksen Jawa sedikit banyak masih terselip dari ucapannya.

Darma dan Venus berjumpa dalam suatu ketidaksengajaan, pada momen itu juga hobi melukis Venus mulai bermetamorfosa menjadi profesi. Sebelum peristiwa yang kini mereka hadapi terjadi, senyum dan tawa selalu hadir kala mengingat momen pertemuan mereka.

Siang itu, rasa kantuk mendera Venus yang sedang menyelesaikan lukisannya. Es kopi karamel otomatis terlintas dalam benak, membuat ia berada di antara pilihan pesan antar atau datang langsung. Demi mengusir rasa kantuk, membeli langsung di kedai jadi pilihannya. Tanpa mengunci kamar, Venus berjalan ke kedai kopi langganan tidak jauh dari rumah kos-nya. Matahari begitu bersemangat menyemburatkan sinarnya. Hawa panas siang itu mengurungkan niat awal Venus untuk meminum kopinya di kedai. Satu gelas es kopi karamel dalam genggaman yang sesekali diseruput, menemani perjalanan pulang.    

Langkah Venus melambat saat mendekati pintu kamar, matanya tertuju pada sepasang sepatu boots berwarna coklat tua persis karamel. Sepatu tidak dikenal itu parkir di atas keset di depan pintu kamarnya. Jelas membuat Venus bertanya-tanya sekaligus waspada. Tanpa suara diambilnya satu sepatu, lalu perlahan ia mendorong pintu kamar yang sedikit terbuka.

Saat melihat punggung seorang laki-laki, sontak Venus berteriak. “Maliiing!” Sambil melemparkan sepatu ke arahnya yang sedang berbalik. Tanpa memberi kesempatan untuk laki-laki itu untuk mengelak. Venus juga melemparkan gelas berisi es kopi karamel dalam genggaman, dan mendarat tepat di wajahnya. Membuat laki-laki itu membatu di tempatnya berdiri. Sementara Venus berlari menjauh sambil terus berteriak, “Tolooong! Ada maling!”

Penghuni kos yang mendengar teriakannya berhamburan keluar kamar. Membentuk kerumunan di koridor, Venus ikut berada di tengah keramaian. Rasa takut membuat ia menyembunyikan tubuh mungilnya di balik penghuni lain. Matanya mengintip ke arah kamar, seorang laki-laki tidak dikenal, berperawakan sangat tinggi keluar. Mukanya basah, rambutnya lepek menutupi sebagian kening. Beberapa penghuni kos pria yang hadir, siap mengeluarkan jurus keroyok. Gagang sapu, batu dan berbagai benda acak lainnya ada di tangan mereka.

Untung Pak Agus -penjaga kos- segera datang, “Ada apa ini? Anda siapa?” katanya lantang.

“Maaf! Ini kamar nomer lima, kan? Kamarnya Seno? Dia nyuruh gue nunggu di dalam kamarnya.” Ditengah kerepotan menyeka wajah dengan lengan kemejanya, laki-laki itu berusaha memberi penjelasan. Panik tergambar jelas pada mimik dan nada suaranya. Kemejanya yang juga basah tidak berhasil mengeringkan titik-titik air di wajah. Tubuhnya yang tinggi membuat dia mudah terlihat dari sisi mana pun.

Semua mata tertuju padanya, mereka tersenyum melihat ia kuyup. Bahkan tertawa setelah mendengar ucapannya. Kalimat tadi berhasil membebaskan penghuni lain dari rasa penasaran dan melangkah pergi dengan gumaman serempak “Ooo.” Kini hanya Venus yang sudah tak lagi tersembunyi, Pak Agus, dan laki-laki tadi yang tinggal.

“Masnya salah, kamar Mas Seno di lantai dua. Memang benar sama-sama nomor lima, tapi beda lantai.” Pak Agus memberikan petunjuk.

“Aaah, I see,” kali ini wajah laki-laki itu terlihat lebih lega.

“Mbak Venus, gimana? Bisa saya tinggal? Apa mau diperiksa dulu takut ada barang yang hilang?”

“Hah? Enggak apa-apa, Pak. Enggak usah diperiksa.” Venus yang masih terpaku atas apa yang sedang terjadi, terperanjat mendengar pertanyaan Pak Agus.

Yo wis. Kalau gitu saya tinggal kembali ke pos ya, Mbak.”

“Terima kasih, Pak. Maaf ya, saya bikin ribut.”

“Enggak apa, Mbak. Masnya tunggu aja dulu di ruang tamu, nanti kalau Mas Seno sudah datang baru sama-sama naik ke kamarnya.” Pak Agus menunjuk ke arah ruang tamu yang letaknya tak jauh dari gerbang masuk, kemudian melangkah pergi.

Laki-laki tadi mengangguk sambil menyingkap rambut ikal yang menutupi keningnya. Venus terkejut melihat luka di dahinya, sebentuk lebam dan lecet yang mulai mengeluarkan darah.

“Tunggu! Tunggu sebentar, ya…” Venus masuk ke kamar, dan tak lama ia keluar membawa handuk, betadine dan plester.

“... gue minta maaf, ya. Ini keringin dulu mukanya.”

“That’s okay, salah gue juga sih. Thank you, ya.” Darma mengambil handuk putih yang disodorkan, mengelap wajahnya. Meninggalkan noda berwarna coklat dan warna merah diatasnya. Darma melihat dengan pandangan heran, jelas kopi karamel itu berwarna coklat, tapi warna merah? 

“Dan ini buat luka di jidat elo,” kalimat Venus menjawab tanya dalam benaknya.

Atas kesalahpahaman yang terjadi, mereka saling meminta maaf.

“Venus, ya? Gue Darma,” katanya sambil menjulurkan tangan.

“Kok tau?” walaupun terkejut, Venus tetap menyambut uluran tangan Darma.

“Kan tadi bapak itu nyebut nama kamu,” Darma tertawa kecil sambil memasang plester pemberian Venus.

“Itu plesternya salah taro,” gantian Venus yang kini tersenyum. Darma menempelkannya tanpa melihat cermin, dan meleset dari lukanya.

“Sini gue bantu,” Darma membungkuk agar Venus mampu menggapai dahinya, tinggi Venus sejajar dengan bahu Darma. Wangi parfum berpadu dengan aroma karamel terhirup penciuman Venus saat wajah mereka berhadapan.

“Terima kasih.”

“Sama-sama.”

Mereka berpisah, Venus kembali ke kamar dan membersihkan tumpahan es kopi karamel. Darma menghampiri mobil Seno yang baru saja masuk ke halaman rumah kos.

Lihat selengkapnya