Kelana Warna

Bamby Virdawanti
Chapter #4

Olive


Bukan hanya keluarga Darma, luka Venus bertambah saat mendengar pernyataan Mama.

“Ve, bukan Mama enggak sayang kamu. Tapi kamu tahu bagaimana Om Deddy, kan? Jadi tolong ngertiin Mama, jangan bikin posisi Mama terjepit. Mama percaya kamu bisa segera selesaikan masalah ini, kamu anak yang mandiri, jadi kamu pasti bisa. Mama berusaha menutupi semua di sini, menjaga jangan sampai Om Deddy tahu lalu marah. Mama juga sudah capek sebenarnya, tapi adik-adik kamu masih membutuhkan Mama. Mama sayang kamu, Ve.”

Pembicaraan terakhir mereka di telepon, kalimat panjang Mama diakhiri Venus tanpa respon. Ditutupnya telepon dan berserapah, Ibu macam apa? Jelas gelar Ibu diperolehnya hanya karena dia melahirkan aku. Bahkan dalam keadaan aku yang terpuruk sekali pun, Mama lebih mengkhawatirkan suaminya.

Kekecewaan berulang terhadap Mama sejak Venus kecil hingga kini, seharusnya mampu membuat ia terbiasa. Namun, entah kenapa sedih itu tetap hadir. Kali ini bahkan sanggup membuat Venus yang tangguh, terduduk lemas hilang semua daya.

 

Ketika Papa meninggalkan Venus dan Mama, untuk bersama wanita lain. Venus yang masih berusia sepuluh tahun, dipaksa untuk menjadi anak yang ‘terlalu’ mandiri. Sehari-hari mengerjakan pekerjaan rumah tangga, belajar dan melakukan semua sendiri. Mama bekerja sejak sore dan baru akan kembali menjelang pagi, lalu tidur sampai siang.

Komunikasi mereka berwujud uang yang diletakkan mama di bawah kaleng bekas wafer, tempat menyimpan kerupuk. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, Venus mengambilnya untuk membeli makan siang dan malam. Makan pagi seringnya terlewatkan. Jumlahnya tidak selalu sama, kadang cukup kadang kurang. Minum air atau tidur biasa dilakukan Venus kecil demi menyiasati rasa lapar, bila tak cukup atau mama lupa meninggalkan uang.

Tidak jarang mereka berpapasan di gang dekat rumah saat Venus pulang sekolah, dan Mama akan berangkat kerja. “Baik-baik di rumah ya, Ve. Mama kerja dulu, kunci pintunya.” Kalimat yang sama, diakhiri dengan ciuman yang meninggalkan bekas lipstick warna merah tua di kedua pipi gadis dengan tubuh paling kurus di kelasnya. Dia tidak tahu apa sebenarnya pekerjaan mama, “Penjaga toko,” jawab Mama waktu ia bertanya. Mama terlihat semakin cantik dengan rias wajah dan busana yang dikenakannya. Rok pendek di atas lutut, memperlihatkan kaki ramping berkulit kuning langsat. Rambut ikalnya dibiarkan tergerai, jepit warna hitam yang tersemat disebelah kiri membantunya terlihat lebih rapi. Dalam hati, Venus kecil selalu mengagumi penampilan Mama, berharap kelak dewasa nanti bisa secantik beliau.

Sayangnya, di balik kekaguman itu terjalin hubungan orang tua dan anak yang jauh dari kata ideal. Kala malam tiba, Venus yang pura-pura terlelap di kamar, mendengar suara Mama datang bersama seorang pria. Mereka berbincang di ruang tengah, tertawa-tawa hingga larut malam. Kalimat rayuan dan suara desahan terdengar. Entah apa yang sedang terjadi, yang Venus tahu sejak saat itu timbul rasa benci terhadap Mama. Tidak hanya satu, ada beberapa suara berbeda hampir setiap malam. Kadang satu orang, kadang bersama teman wanita dan pria lain lagi. Venus tidak berani keluar kamar, awalnya muncul perasaan sedih dan kesal yang berlebihan. Namun, seiring berjalan waktu Venus memilih untuk tidak perduli dan tidur lebih awal. Memeluk Olive, boneka kesayangan hadiah dari Oma. Membuat gadis yang memiliki kekuatan lebih besar dari tubuhnya itu merasa nyaman, diantara semua tanya dan takut yang berlomba mengganggunya.

Beberapa tahun menjalani kehidupan seperti itu, membentuk pribadinya menjadi seseorang yang sangat pendiam. Venus lebih banyak bertutur lewat coretan sketsa di atas kertas. Hitam dan putih, tanpa kehadiran warna, hanya abu-abu yang kadang dibiarkannya singgah. Berusaha menenggelamkan diri dalamdunia yang diciptakannya, melindungi sedikit asa yang hampir padam.

Di satu waktu ada suara pria yang kerap datang, dan tidak ada lagi suara yang lain. Setiap malam suara yang sama hadir dari ruang tamu, tidak ada lagi tawa, perdebatan lebih sering mendominasi. Suara tangis Mama, di antara pertengkaran yang disudahi dengan tamparan, beberapa kali membangunkannya. Membuatnya terjaga hingga fajar menyapa matahari. Venus ingat beberapa kali mama menguncinya dari luar kamar, dan membukakan kembali esok pagi saat harus bersiap ke sekolah. Memar di pipi Mama yang putih, tidak membuat Venus bertanya. Membiarkan semua berjalan seolah tidak ada yang terjadi, begitu seterusnya hingga beberapa bulan kemudian Mama memperkenalkan laki-laki itu.

“Ve, ini Om Deddy. Mama akan menikah dengannya.”

Mama menikah dengan laki-laki itu karena mengandung anaknya. Pernikahan terjadi dengan satu syarat, dia hanya akan menafkahi Mama dan anak hasil hubungan mereka. Alasan itulah yang membuat Mama menyerahkan Venus ke Papa, yang lalu menitipkannya ke rumah Oma di Bandung.

 

“Papa janji akan jemput kamu, setelah kamar kamu selesai direnovasi.” Janji yang menjadi sebuah pelajaran untuk Venus kecil, bahkan orang terdekatmu pun belum tentu bisa menjadi tempat bergantung. Satu-satunya tempat menaruh harapan adalah diri sendiri, dan sejak saat itu sifat tertutup semakin melekat erat pada dirinya. Olive dan sketsa yang menjadi teman, sekaligus tempat Venus mencurahkan segalanya.

 

Oma yang awalnya kesulitan berinteraksi dengan Venus rupanya tahu kalau diam-diam cucu satu-satunya itu sering mengamatinya melukis. Oma sangat bahagia ketika Venus menyetujui tawarannya, “Ve, mau enggak Oma ajari melukis?” Tanpa ragu Venus mengiyakan dan semakin jatuh cinta pada seni ini sejak goresan pertama.

 

Selepas SMA, Venus kembali ke Jakarta dan kuliah sambil bekerja paruh waktu sebagai pelayan katering. Semua berhasil ia lalui dengan nilai cukup. Venus tumbuh menjadi seorang penyendiri yang hanya fokus pada pekerjaan dan sekolah. Jangankan bergaul, bergulat dengan kehidupannya sendiri sudah cukup menguras energi. Venus cenderung melindungi diri dari dunia luar, dengan pemikiran semakin sedikit orang tahu tentang keadaannya, maka akan semakin mudah untuknya bertahan hidup. Melukis jadi caranya menerjemahkan perasaan dan sembunyi dari kenyataan hidup.

 

Seumur hidup dia berusaha berbuat yang terbaik untuk menghindari kalimat, “Buah jatuh enggak jauh dari pohonnya. Ibunya saja begitu, wajar kalo anaknya jadi enggak bener.” Kini hal yang paling ia takutkan benar terjadi, dan semua usahanya menguap tanpa sisa. Seandainya Darma tidak terburu-buru menyebarkan berita sebagai pembelaan diri, mungkin aku masih bisa menyembunyikan kehamilan ini. Namun, yang terjadi membuatku terhimpit di antara rekayasa berita dan spekulasi pendapat, tanpa ada daya untuk melawan. 

 

Media tentu saja akan berpihak pada versi cerita yang penuh intrik dan menggelitik. Demi membiarkan pemirsa menelaah dengan asumsi terbaik -menurut mereka- kemudian menyebarkannya.

 

Naima. Sahabat Venus sejak kuliah, satu-satunya sahabat yang pernah ia miliki. Kekecewaan yang serupa, membuat mereka merasa saling memiliki.

 “Nih, passport elo udah gue perpanjang. Gue udah minta tolong bokap untuk ijin tinggalnya, sekarang yang penting elo harus berangkat!” Naima menyerahkan buku kecil berwarna hijau tua yang sempat habis masa berlakunya tanpa pernah digunakan, ke tangan Venus.

“Turki? Enggak salah, Im?”

Lihat selengkapnya