Upaya untuk memiliki penghasilan terus Venus lakukan, hingga aroma cat akrilik terasa menempel pada penciumannya. Ia berusaha menyelesaikan lukisan ke empat. Seorang penari yang memegang tiga buah topeng, terlukis di atas kanvas berukuran 60x80cm. Ketiga topeng mewakili karakter berbeda yang diperankan oleh sang penari. Panji yang anggun dan suci, dominan dengan warna putih. Samba tokoh yang tangkas dan ceria, terwakili dengan warna merah. Sementara warna hitam mendominasi topeng tokoh Jingga yang garang dan gagah. Topeng mereka begitu kontras dengan warna-warni kostum dan aksesoris adat Betawi yang dikenakan. Buat Venus, si penganut fauvisme, warna bagaikan taman bermain. Penuh tantangan dan keriangan.
Saat melukis, rasa dan raganya bergerak harmonis menarikan apa yang ada dalam imajinya ke atas kanvas. Jelas lukisan yang ia beri judul “Panji” ini merupakan terjemahan rasa rindunya pada kota kelahiran. Atau Darma?
“Mirip ya sama aku,” Darma tersenyum sambil mengatakannya. Saat itu tari Topeng Betawi baru saja selesai dipertunjukkan, sebagai pembuka acara peresmian pameran bersama beberapa orang pelukis, termasuk Venus.
Venus yang sebenarnya tahu maksud Darma, tetap bertanya, “Topengnya?” Tawanya jadi reaksi pertama, yang kemudian dan dilanjutkan dengan kalimat, ”Setiap hari aku selalu pake topeng yang berbeda. Ketika berhadapan dengan Papa, atau waktu bareng kolega bisnis. Bahkan teman-teman aku sendiri enggak pernah tau gimana aku yang sebenernya.” Venus yang berdiri di sampingnya, melepaskan genggaman. Merangkul lengan sang kekasih hati dan menengadah memandang wajahnya. Memperhatikan garis rahang yang kuat dan lekumnya bergerak ketika Darma bicara.
“Cuma sama kamu, aku bisa melepas topengku,” kalimat yang diakhirinya dengan kecupan di kening Venus, tepat saat lampu menyorot mereka. Terdengar pembawa acara memanggil nama Venus Adrianne, gemuruh tepuk tangan mengiringi langkahnya naik ke podium untuk diperkenalkan pada tamu yang hadir.
Mengingat masa itu, berbagai emosi seperti sedang mengadakan temu rindu dalam batin Venus. Masing-masing bergantian menempatkan diri dalam setiap bingkai memori yang melintas. Bangga karena beberapa karyanya berhasil lolos seleksi sponsor untuk ikut dalam pameran. Haru dan bahagia yang bersahutan ketika mendengar namanya dipanggil, dan … saat Darma mengecup keningnya.
Begitu larut dalam kegiatan yang satu ini, seringkali waktu terabaikan. Sebenarnya ia sangat menikmati, tetapi ada yang mengganggunya beberapa hari belakangan. Venus menemukan kesulitan saat meramu cat di atas palet, terasa lebih sulit mendapatkan warna yang ia inginkan. Semakin dipaksa semakin hilang suasana hati karena tertutup emosi, dan matanya terlalu lelah untuk mengikuti.
Kian hari penglihatannya terus memudar. Mungkinkah aku terlalu lelah? Atau jangan-jangan ini pengaruh dari berbagai obat yang belakangan aku konsumsi, saat mencoba menggugurkan kandungan?
Karena semakin parah, Venus merasa ini saatnya untuk memeriksakan diri ke rumah sakit.
“Hai La, apa kabar?” sapa Venus ketika dering telfon terhenti dan terdengar suara Lola menjawab.
“Hai, Ve. Baik, baik banget. Elo gimana? Udah mulai betah jadi orang Turki nih, kayaknya.” Lola terdengar sangat antusias. Kami memang belum pernah berjumpa lagi sejak kepindahanku.
“Gue juga baik, tambah gendut nih. La, ada rumah sakit yang deket dari tempat gue, enggak?”
“Oiya udah waktunya periksa kandungan elo ya?”
“Iya…” Venus mengiyakan pertanyaan Lola, walaupun bukan itu tujuannya ke rumah sakit.
“Mmm, karena elo enggak bisa bahasa Turki, mendingan ke rumah sakit internasional aja, ada di Istanbul bagian Asia.”
“Oke, chat gue lokasinya ya, La. Thank you.”
Venus membaca pesan dari Lola, rumah sakit yang dimaksud lokasinya 1,5 jam dari kota tempat Venus tinggal. Satu kali naik trem, dua kali naik bis, sesuai dengan petunjuk di google map. Tulisan pada ponsel masih terlihat kabur walaupun sudah dengan penerangan yang maksimal.
****