Kelana Warna

Bamby Virdawanti
Chapter #7

Saat Hitam Menyapa

 

Helaan nafas berulang, menunjukkan betapa asa hampir meninggalkan tekad Venus untuk menghasilkan uang. Lukisan bertema musim gugur yang dikerjakan sejak tiga hari lalu, tidak mengalami kemajuan. Warna chesnut dan gradasi yang diinginkan, belum juga sesuai dalam penglihatannya.

Dia tak habis pikir, apa pun warna yang ditumpahkan ke palet, hasilnya selalu sama. Abu-abu kehitaman. Sebenarnya tidak hanya palet yang melahirkan warna itu, tetapi semua dalam pandangnya terlihat bagai sketsa, kelabu. Belum genap satu minggu, penglihatannya semakin kabur. Obat yang diminum tidak membuat penglihatannya lebih baik.

Venus kembali ke rumah sakit sebelum waktu yang ditentukan. Tidak mungkin mengulang perjalanan seperti sebelumnya dengan kondisi penglihatannya yang sekarang. Taksi terpaksa jadi pilihan. 

Perjalanan dari kamar menuju lobby apartemen, berhasil dilalui dengan meraba dinding. Rute yang dikenalnya dengan baik. Namun, ketika tiba di lobby rumah sakit, semua berbeda. Pada penglihatannya bentuk dan warna melebur samar tanpa garis tepi, abu-abu mendominasi. Persis visualisasi saat listrik mati, gelap dan hanya bayangan yang tertangkap. Bola matanya sakit, dan kepalanya terasa semakin pening saat mencoba memaksa pandang dan nalar bekerja sama lebih keras. Dua kali Venus nyaris terjatuh karena tersandung. Pintu kaca jadi benda terakhir yang ditabraknya, sebelum berhasil masuk. Sambil melanjutkan langkah menuju nurse station, dijulurkan tangannya kedepan berharap bisa menjadi cara agar tidak menabrak apa-apa lagi.

Tidak hanya lelah yang berlebih, berjalan dalam gelap benar-benar memunculkan rasa takut yang luar biasa. Nafasnya mulai tersengal-sengal dan emosinya semakin meluap. Jantungnya berdetak lebih cepat, panik mulai menyelimutinya. Tiba-tiba ia merasakan seseorang menyentuh punggung tangannya. Venus tersentak dan menepisnya.

“I’m a therapist, let me help you,” suara laki-laki itu sedikit mengurangi kepanikan Venus. Dan ia pasrah ketika tangannya dilingkarkan ke lengan si pemilik suara. Dia menuntun Venus ke sebuah ruangan, “Lay down please, I’ll get the doctor.”

Venus mendengar langkah kaki yang menjauh. Rasa takut dan tidak nyaman masih menyelubungi. Tidak berani berbaring, ia tetap duduk dan memastikan kakinya menyentuh lantai, tanda waspada. Dari suara yang didengar dan penglihatan yang samar, Venus bisa mengetahui ia sedang berada di ruang IGD.

Entah apa yang terjadi, tetapi suara yang terdengar semakin ramai dan volume-nya semakin keras. Beberapa orang berbicara cepat, suara marah, suara tangisan, rintihan, semua dengan nada yang tinggi. Venus merasa tidak sanggup berada di ruangan itu, sambil menutup telinga ia berdiri berusaha mencari jalan untuk keluar. Namun, belum sempat kakinya melangkah, tubuhnya terjatuh dan pandangannya gelap gulita. Si terapis datang di waktu yang tepat, dan berhasil menangkap Venus yang jatuh pingsan.

 

“Hello ma’am, can you hear me?”

Venus mencoba membuka mata yang masih terasa berat. Silau dari sinar senter yang diarahkan dokter ke bola matanya, meninggalkan setitik cahaya pada pandangannya. Saat matanya terbuka sempurna, bayangan beberapa orang berdiri tertangkap pandangannya. Dokter Abdullah yang tadi menyapanya, memperkenalkan diri sebagai dokter kandungan yang akan menangani Venus selama ia dirawat. Dokter Aman, seorang suster dan terapis yang suaranya sudah dikenal Venus. Dua dokter menjelaskan tentang apa yang terjadi, mereka bicara bergantian tetapi kadang bersamaan. Telinga, yang kini memegang peranan paling penting, belum terlatih. Hingga semua suara tertangkap tanpa penyekat. Dan hasilnya, tidak satu pun berhasil dicerna dengan baik oleh otak. Setelah semua selesai bicara, Venus hanya diam larut dalam kebingungan. Mereka pun meninggalkannya, seakan Venus sudah paham atas apa yang terjadi.

 

“Mengingat tempat tinggalmu jauh dan kamu tinggal sendirian, mereka meminta kamu untuk rawat inap. Dua sampai tiga hari ini, kamu akan di observasi untuk kemudian menentukan perawatan yang akan diberikan. Dan sekarang kamu sudah berada di kamar rawat.” Kira-kira seperti itu apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Si terapis yang masih tinggal, menjelaskan dalam bahasa Inggris dengan tempo yang lebih lambat. Sambil memeriksa aliran obat dalam infus, dia memastikan Venus mengerti apa yang dikatakannya.

“You’ll get used to it, just give your ears a little time to adapt,”

O, dia juga bisa membaca pikiran ternyata.

Bukan Ve, dia kan terapis, dia hanya menangkap gelagatmu.

Sumpah, sulit untuk mengontrol pikiranku agar tetap waras saat ini

 

Semua terjadi begitu cepat, tanpa memberi ruang untuk menempatkan jeda pada emosinya. Saat kesadaran menyatu, benaknya kembali berkelana dengan berbagai angan dan pertanyaan.

Cobaan apalagi ini ya, Tuhan? Kegelapan ini sungguh membuatnya takut. Dari semua yang pernah ia alami, baru sekarang dia merasa segamang ini. Hitam di antara keterasingan, hitam benar-benar mematikan nyalinya yang tidak terkalahkan.

Belum mantap kakinya menjejak di tempat yang baru, kini harus melangkah dalam kegelapan. Seketika tidak ada lagi warna yang terlihat, hitam menjadi satu-satunya teman dalam terang dan kelam. Kebutaan seharusnya akan menjadi pemakluman yang sempurna untukku mengakhiri hidup. Pikiran itu kembali mengusik, sebuah jalan pintas terus membujuk nalar.

 

***

 

Malam yang penuh pergolakan, membuatnya terlalu lelah hingga tidak ingat apa yang terjadi sebelum akhirnya tertidur.

 

Pagi ini yang dirasakan hanya pening dan mata sembab. Venus terbangun ketika seorang perawat mengantarkan makan pagi dan obat yang harus diminum. “Gunaydin,” sapaan yang biasa diucapkan di pagi hari, dibalasnya dengan kata yang sama.

“Excuse me,” katanya sambil mengambil tangan Venus. Di sentuhkan pada tombol di sisi ranjang, ibu jarinya menekan ibu jari Venus pada sebuah tombol yang membuat bagian bawah tempat tidur terangkat. Lalu pindah ke tombol di sebelahnya, untuk mengembalikan ke posisi semula. Selanjutnya tombol untuk menaikkan bagian atas tempat tidurnya. Kini Venus dalam posisi duduk, sebuah meja dorong didekatkan. Terdengar suara nampan diletakkan di atas meja. Perawat tadi menyebutkan satu persatu menu yang terhidang sambil menyentuhkan tangan Venus ke arah masing-masing makanan.

Lihat selengkapnya