Satu minggu menjalani perawatan di rumah sakit, penglihatan Venus kian membaik. Dari yang sama sekali hitam, kini dalam penglihatannya semua mulai menampilkan bentuk. Seperti bayangan dari pandangan mata normal, samar tetapi memiliki wujud yang utuh. Abu-abu masih mendominasi, belum ada detil warna yang tampak. Ah, serasa hidup di dalam dunia sketsa.
Melihat kemajuan Venus yang sangat baik, status rawat inap berubah menjadi rawat jalan. Dia diperbolehkan meninggalkan rumah sakit dan melanjutkan perawatan dari rumah.
Memaksakan diri untuk menggunakan penglihatan dengan kemampuan yang sangat rendah atau low vision, akan membuat semakin stress. Dokter menyarankan untuk tidak memberikan beban yang berlebih pada penglihatannya. Biarkan waktu memulihkan semua dengan sempurna. Obat dan vitamin membantu penyembuhan, tetapi ketenangan hati yang akan mempercepat prosesnya.
Tidak perlu terlalu khawatir, karena Venus tidak buta sejak lahir, maka otot ingatannya akan membantu. Gambaran bentuk benda, wajah orang, dan situasi sebuah tempat, sudah tersimpan dalam ingatan. Maka tidak akan sulit untuknya membayangkan deskripsi yang diberikan orang lain. Ia hanya perlu melatih indera lainnya bekerjasama dan beradaptasi dengan absennya penglihatan. Satu minggu sekali, Venus harus kembali ke rumah sakit untuk memeriksakan kesehatan mata dan kandungannya.
Kalimat terakhir dokter bagai membangunkan Venus untuk kembali ke dunia nyata. Tidak mungkin aku kembali ke apartemenku, tidak mungkin juga aku menumpang tinggal di rumah Lola. Sejak aku tinggal sendiri kami jarang berkomunikasi, hanya seperlunya saja. Aku tidak mau mengganggu kehidupannya. Satu-satunya kemungkinan, aku harus mencari tempat tinggal baru di sekitar rumah sakit.
Dia mulai mencari informasi dari para perawat tentang apartemen atau rumah yang disewakan.
“Actually, there’s one,” Ilara teringat seseorang.
“Can you give me the contact number?”
“Nope,” Venus sedikit bingung dengan jawaban perawat bersuara alto itu.
“Oh, you’re gonna contact the landlord for me?”
“I will tell him to come and see you, this afternoon.”
“Aaah, okay.” Mungkin etika di negara ini, calon penyewa harus bertemu pemilik rumah sebelum memulai kontrak. Pikir Venus.
“Is four o’clock fine with you?”
“Wait, let me check my schedule … ” mereka tertawa mendengar kelakar Venus, “ … Thanks a lot. I really appreciate it, Ilara.”
Hari ini terasa sedikit lebih lama, berbagai rasa dan tanya tumpah dalam benak. Bahagia mendominasi, disusul kuatir. Rasa syukur dan gairah pun turut serta mengambil tempat. Mengisi ruang asa yang sempat kosong dalam diri wanita yang mulai menyemburatkan rona pada pipinya.
Suara ketukan di pintu menyadarkan Venus dari lamunan, bayangan sosok laki-laki tinggi, besar dan kekar berjalan mendekati.
“Hai,” setelah mendengar suaranya, baru Venus yakin kalau laki-laki yang kini berdiri di samping tempat tidurnya adalah Ahmet.
“I thought our schedule is supposed to be … ” Venus yang mengira Ahmet datang untuk sesi terapi, tidak sempat menyelesaikan kalimatnya.
“I come as your four o’clock appointment,”