Kelana Warna

Bamby Virdawanti
Chapter #9

White Cane


 “Gunaydin,” sapa pagi diiringi aroma kayumanis menghampiri Venus, saat ia membuka pintu.

“Gunaydin,” jawabnya antusias.

“Good, you look happy. Banyak yang harus kita latih hari ini.”

“Kamu bawain aku salep, kan? Aku mau,” bahkan tanpa melihat, Venus yakin aroma yang melintas di penciuman berasal dari minuman kesukaannya. Dia berjalan menuju sofa, duduk dan menerima gelas kertas yang disodorkan Ahmet. Gelasnya masih terasa hangat, saat tutupnya dibuka aroma kayu manis menyeruak, menggoda. Dicelupkan jarinya sedikit ke dalam, memastikan suhu salep aman untuk diteguk. Hanya butuh dua menit untuk menghabiskan minuman kesukaannya, menikmati hangat yang mengalir ke seluruh tubuh.

“Makasih,” lesung di pipi kirinya terbentuk bersama ekspresi yang menerjemahkan kebahagiaan.

“Belum mandi, ya?” pertanyaan yang dilontarkan Ahmet demi menutupi bungah yang singgah. Menghapus senyum si lawan bicara, berganti rona merah di wajah menahan malu dan sedikit kesal.

Jangankan mandi, pipis aja masih ditahan, kemarin kan kamu enggak kasih tau kamar mandinya dimana. Gumam Venus pelan sambil berdiri dan melangkah, tangan kirinya masih memegang gelas kertas yang hendak dibuang. Sementara tangan kanannya menggapai, mencari dinding untuk diraba. Ahmet meraihnya, menggamit, dan memimpin langkah. Kali ini rute yang berbeda, bukan langkah menuju kamar. Ke arah kiri empat langkah, hadap kanan, dalam langkah ke dua, mereka tiba di depan sebuah pintu berwarna putih. Atau abu-abu muda dalam pandangan Venus.

“Saya akan lepas tangan kamu, pegang bar ini, ya.” Kini mereka berada di dalam kamar mandi, tangan Venus menggenggam sebuah gagang besi yang tertanam di dinding. Sisi terapis Ahmet mengambil alih mulai dari sini, memperhatikan dan mengamati wanita hamil di hadapannya. Memastikan ia siap dan aman untuk orientasi selanjutnya.

“Lebarkan sedikit kaki kamu.” Dia memang tidak membantu, tetapi tubuhnya sigap untuk merespon seandainya terjadi sesuatu. Oke, sekarang Venus berada dalam posisi yang tepat dan kuat menopang tubuhnya. Langkah demi langkah dijaganya dalam putaran menjelajah sisi demi sisi. Ruangan ini terbilang luas untuk sebuah kamar mandi, tidak seperti yang ada di rumah sakit. Lantai berlapis karpet karet, pegangan dari besi tertanam di dinding mengelilingi seluruh ruangan. Posisi pancuran air di pojok sebelah kanan, jalan menujunya sedikit melandai. WC terletak di sisi yang lain, juga di kelilingi rangka dari besi. Sebuah kamar mandi yang sangat ramah untuk penderita tuna netra.

Lewat suaranya, pria itu menuntun Venus menelusuri setiap sudut. Mimik tegang pada wajah keduanya mencair, saat ruangan yang dianggap paling rawan ini berhasil dikuasai.

“And now, please do your business.”

Singkat, tiba-tiba dan berintonasi datar. Sungguh sangat Ahmet.

 

****

 

Ahmet melatih menyeimbangkan sentuh dan langkah, membiasakan ingatan menyusuri ruang. Dalam tuntunan ucapannya, bersama mereka juga menjelajah ruang makan, dan ruang santai. Menapaki satu ruangan ke ruangan lain, mengenali benda-benda dalam setiap ruangnya.

Venus tidak sepenuhnya buta. Namun, kemampuan penglihatannya yang tanpa warna dan sudut pandang yang terbatas, tidak bisa diandalkan. Terlebih masalah ketajaman presisinya yang sangat lemah. Maka, ia harus terbiasa menghafal jarak dengan langkah, mengingat posisi dan mengenal benda melalui raba.

Sejak awal Ahmet membersamai, ia meminjamkan lengannya laksana pijakan bagi raga dan sukma. Hari ini ia melihat rasa percaya diri hadir dan singgah, saat wanita yang menumbuhkan ibanya, tak lagi menggantungkan diri pada sang lengan.

Selama proses perkenalannya dengan dunia yang baru, tidak pernah sekali pun Venus terjatuh atau terluka. Tanpa selalu diketahuinya, sebelum hal buruk terjadi, Ahmet yang ada didekatnya akan mencegah apa pun itu. Kepercayaan menyambangi keduanya dalam bentuk masing-masing. Melahirkan harapan untuk memperbaiki masa lalu bagi si pria, dan menyiratkan asa untuk menghadapi masa depan bagi si wanita.

 

One step at a time, satu langkah lagi telah terpijak. Wanita yang untuk sementara harus berhenti bermain warna, semakin akrab dengan sahabat-sahabat barunya. Bagai melukis, semua harus terharmoni dengan baik, kepada mereka lah sekarang Venus bergantung. Raba, rasa, aroma dan telinga.

 

Ruang makan yang berjarak delapan langkah lurus dari pintu kamar tidur Venus, menjadi tempat mereka menikmati hidangan. Seperti tadi malam dan siang ini,

“I’m not a good cook.”

“Iya, aku tahu.”

Venus mengulum bibir menahan tawa, mendengar suara air tersembur. Ahmet hampir tersedak, laki-laki itu terkejut. Tidak mengira Venus akan dengan polos, spontan mengiyakan ucapannya.

Hmm, makan siang ini saya beli di restoran tadi.”

Ah, thank you.”

“Kamu suka bakso?”

Lihat selengkapnya