Ketika praktikum pengaruh cahaya matahari terhadap pertumbuhan kacang hijau pada pelajaran biologi, namaku tertulis dalam nama anggota kelompok yang diketuai Kamelia. Aku sangat senang dan merasa beruntung.
Kacang hijau yang direndam semalaman beserta kapasnya dia yang sediakan katanya ketika kami berembuk di dalam kelas pada jam istirahat. Maunya aku, langsung besok praktikumnya. Hari praktikum yang kutunggu-tunggu supaya dapat berdekatan dengannya terasa masih sangat lama, tidak sebagaimana jam istirahat yang terasa begitu singkatnya.
Selama pembicaraan kami yang dimulai segera setelah selesai jam pelajaran biologi itu, hanya dia dan teman satu meja dengannya yang duduk di tempat duduk, sementara aku dan teman yang lain berdiri membentuk setengah lingkaran di depan mereka berdua. Kami mendengarkan arahannya dengan sungguh-sungguh. Dia sempat melihat ke telapak tanganku ketika aku menggosok-gosokkannya di celana. Tak kupungkiri muncul juga rasa malu lagi. Namun, rasa malu itu tidak akan mengubah perasaanku kepadanya, tidak membuat keinginan berdekatan dengannya pupus. Tidak akan jadi penghalang. Pada suatu hari nanti aku akan mengungkapkan perasaan pribadiku kepadanya, kuberkata demikian di dalam hati dengan penuh percaya diri untuk membungkam rasa malu.
Aku akan duduk di dekatnya pada hari praktikum nanti. Keinginanku itu muncul tiba-tiba begitu namaku disebut Bu Guru sebagai orang terakhir yang dimasukkannya ke dalam kelompok yang diketuai Kamelia. Caranya, aku akan berusaha menjadi orang pertama dari anggota kelompok kami yang masuk ke ruang lab nantinya. Jika taktikku berjalan dengan baik, aku akan menunggu kedatangannya di meja kelompok kami yang masih dalam keadaan kosong. Taktikku pasti akan berjalan dengan baik.
Hari yang kutunggu-tunggu supaya dapat berdekatan dengan Kamelia tiba juga. Pukul delapan pas, kami semua mulai mengantre di depan pintu ruangan laboratorium. Kelompok kami mendapatkan meja yang paling belakang. Akhirnya, aku berhasil juga menjadi orang pertama yang masuk ke lab. Sesuai dengan taktik, aku tidak langsung memilih tempat duduk, sengaja berdiri lama-lama di sebelah meja hanya untuk menanti Kamelia yang lebih dahulu duduk.
Dua orang teman satu kelompok denganku datang dan langsung memilih tempat duduknya. Sesaat kemudian menyusul Kamelia bersama teman-teman yang lain. Begitu dia duduk di kursi yang dipilihnya, aku pun cepat-cepat menarik sebuah kursi kosong yang berada di sebelahnya. Aku langsung duduk di situ. Perasaan lega dan senang bergejolak hebat di dadaku. Taktikku berhasil.
“Kamu jangan duduk di sini, Dra. Ini tempat duduk Desi. Desi yang kuberikan tugas mencatat langkah-langkah praktikumnya dan perkembangan kecambahnya.”
Desi yang tadi datangnya juga bersama Kamelia segera menarik kursi kosong di dekat Bob, lalu sambil meletakkan dua buah buku tulis yang dibawanya ke atas meja, dia berkata, “Aku sedang perlu sama Bob, Mel. Masih perlu banyak penjelasan dari Bob. PR matematika di bukunya belum selesai kusalin.”
Betapa baiknya Desi. Suatu hari nanti akan kutraktir dia semangkuk mi bakso di kantin, kata hatiku yang sedang senang. Aku lagi-lagi merasa sedang beruntung.
Dua orang dari masing-masing kelompok diminta segera ke ruang penyimpanan alat-alat praktikum untuk mengambil wadah kaca. Kamelia bangkit dari duduknya sambil mengajak seorang anggota kelompok kami. Sesaat kemudian mereka berdua datang bergabung lagi dan meletakkan wadah-wadah kaca ke atas meja. Kamelia segera mempersiapkan kapas dan kacang hijau yang dibawanya sambil meminta salah seorang anggota kelompok membacakan dengan suara kecil deskripsi langkah-langkah praktikum yang minggu lalu kami salin. Terlambat kubaca, sudah lebih dahulu dibaca oleh seorang teman yang duduk di sebelah kananku.
Tidak lama kemudian, beberapa anggota dari kelompok lain tampak berjalan menuju wastafel yang menempel di dinding samping ruang lab. “Wadah airnya yang kecil ini, ya?” Aku mengulurkan tangan ke tengah meja, bermaksud mengambil sebuah wadah kaca.
“Jangan, Dra. Jangan kamu!” Kamelia segera mengambil wadah kaca itu dan memberikannya kepada Bob. “Ini tugas Bob,” lanjutnya tanpa sedikit pun melihat ekspresi terkejut di wajahku. Tatapan teman-teman sempat tertuju padaku sesaat. Mereka tampak menyembunyikan tawa.