Kelap-Kelip Kunang-Kunang di Telapak Tangan dan Telapak Kaki Kami

Dirman Rohani
Chapter #5

#5

Pada suatu sore Minggu seorang temanku yang paling jago dalam urusan membuat dan menerbangkan layangan elang—layang-layang tradisional aceh—tiba lebih awal di tempat yang mereka jadikan lapangan main layang-layang—sepetak tanah sawah di pinggir seruas jalan dan menjorok ke sebuah kebun.

Tiga batang pohon angsana tua yang tinggi besar di balik pagar kebun membuat teduh tempat-tempat tertentu di sepanjang pematang sawah. Mereka akan duduk di situ nantinya jika layang-layangnya sudah mendapatkan angin dan mengangkasa dengan tenang.

Selepas salat asar, sebelum ke lapangan bola aku memang sengaja cepat-cepat datang ke tempat main layangan. Tapi tujuanku bukan untuk main layangan. Aku datang hanya untuk memetik buah kingking, buah kecil-kecil yang ukurannya lebih kecil dari kuku kelingking tangan seorang anak kecil yang masih SD.

Bentuk buahnya serupa jambu monyet, akan berwarna merah dan ada juga yang warnanya kuning jika sudah matang. Rasanya kelat-kelat manis. Batangnya juga kecil, hanya sebesar jari telunjuk tangan orang dewasa, tapi tingginya bisa mencapai sekitar dua meteran. Tumbuhan semak itu tumbuh dengan sendirinya di antara batang kuda-kuda yang sengaja ditanam untuk memagari kebun itu.

“Dra!” Terdengar teriakannya memanggilku.

“Samudra!” Dia memanggil namaku lagi.

Kuangkat dagu, kualihkan pandangan mataku dari buah kingking di telapak tangan ke lambaian tangannya.

“Bantu anjong!” teriaknya lagi. Dia lalu berjalan cepat dan berhenti di tengah-tengah sawah. “Bantu anjong!” teriaknya sekali lagi.

Kusimpan buah kingking ke dalam saku tas sepatu bola yang kugantung di setang sepeda, lalu aku berjalan cepat mendekatinya.

“Aku nggak bisa lama, mau ke lapangan bola,” kataku sambil mengambil layangan yang dipegangnya.

“Tenang, Dra. Ini layang bagus, sekali anjong pasti terbang.” Dia langsung mengulurkan benangnya begitu layangannya kubawa menjauh searah dengan arah angin berembus.

“Berhenti, Dra!” katanya dengan suara agak keras sambil menahan uluran benang.

“Lepas, Dra!” katanya sesaat kemudian.

Layangan elangnya naik dengan cepat, tapi tiba-tiba menukik tajam dan menghantam tanah. Aku mengangkatnya lagi. Bukan untuk kuanjong, tapi untuk memperlihatkan kertas pada bagian tengah sayap kanannya yang sudah bolong sebesar kepalan tangan. “Koyak!” teriakku.

Lihat selengkapnya