Kesebelasan kampung kami tampil bertanding pada hari pembukaan turnamen. Ternyata turnamen sepakbolanya turnamen kaki ayam, tanpa menggunakan sepatu bola. Pertandingannya sistem gugur, tim yang kalah langsung tersingkir, sedangkan tim yang menang diberi waktu istirahat hanya satu hari sebelum besoknya bermain lagi di pertandingan berikutnya.
Setelah melakoni empat kali pertandingan tanpa kalah, tim kami lolos ke babak final. Pertandingan di babak final berlangsung sengit. Lima kartu kuning dikeluarkan wasit. Dua untuk pemain tim kami dan tiga untuk tim lawan. Hingga peluit panjang berakhirnya babak kedua ditiup wasit, tidak ada satu pun gol yang tercipta. Pertandingan berakhir imbang. Pemenangnya akan ditentukan melalui adu penalti.
Sesekali bahana sorak-sorai terdengar menggelegar dalam ketegangan yang menyelubungi lapangan bola ketika adu penalti berlangsung. Semua penendang tim lawan berhasil menciptakan gol, sedangkan tim kami baru mendapatkan 4 gol. Skor penalti 4 : 5 untuk keunggulan sementara tim lawan.
Sungguh, semua pemain bola yang ditunjuk sebagai penendang penalti terakhir akan menanggung beban lebih berat jika berada dalam situasi seperti yang kualami ini. Sebelumnya aku belum pernah menjadi penendang terakhir ketika permainan berakhir dengan adu penalti, dan kini, aku juga menjadi penentu untuk menyamakan skor. Jika bola yang kutendang tidak masuk ke gawang, selesailah sudah adu penaltinya. Tim lawan yang akan menjadi juara.
“Waduh, Samudra kakinya licin kalau nggak pakai sepatu.” Kata-kata penuh keraguan dari temanku yang kiper terdengar di belakangku ketika aku bersiap-siap maju ke titik penalti.
Aku tahu, si kiper tidak bermaksud sedikit pun meremehkan kemampuanku. Namun, keraguannya itu ada benarnya juga. Selama pertandingan berlangsung tadi, beberapa kali setelah melewati pemain lawan aku malah jatuh terpeleset dengan sendirinya ketika membawa bola. Perkataannya barusan kurasa wajar saja.
Aku maju dan berdiri di titik penalti. Suasana tegang semakin menyelubungi lapangan bola. Ternyata kata-katanya tadi membuat konsentrasiku buyar seketika, aku tidak ingat lagi dengan rencana awalku, menendang bola ke pojok kiri gawang atau ke pojok kanannya.
Aku mundur tiga langkah ke belakang. Suasana di lapangan bola hening seketika. Kini, hanya aku dan penjaga gawang lawan sebagai titik pusat perhatian semua orang. Si kiper lawan berdiri tegak sambil merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Suara tiupan peluit wasit baru saja terdengar, aku memutuskan tetap diam di tempatku berdiri.
Wasit berjalan mendekatiku, dan setelah melontarkan kata-kata peringatan, dia mundur perlahan ke tempat di mana semestinya dia berdiri. Dia kembali memberi aba-aba kepada si kiper dan kepadaku untuk bersiap, lalu meniup peluitnya.
Dalam diamku tadi aku memikirkan rencana baru. Setelah menarik napas dalam-dalam, aku bergerak maju perlahan dengan gestur tubuh agak serong ke kiri. Maksudku untuk mengecoh kiper lawan sebelum bola kutendang. Nantinya bola kutendang pelan saja supaya tetap bergulir di tanah dan bolanya kuarahkan ke pojok kanan gawang.
Segera kutendang bola tanpa sedikitpun keraguan. Akan tetapi yang terjadi kemudian tidak seperti yang kuinginkan. Kiper lawan memang sudah terkecoh dan membuang badannya ke arah yang berlawanan dengan arah bola yang kutendang. Tapi bola tendanganku malah tepat mengenai tiang gawang.
Sontak sorak sorai pendukung tim lawan membahana di sepanjang sisi kanan lapangan, tempat mereka berdiri menonton. Semua pemainnya berlari ke arah mereka sambil melakukan selebrasi. Aku berjalan ke tepi lapangan dengan kepala tertunduk. Teman-temanku mendekat dan menepuk-nepuk bahuku. Tiba-tiba kata-kata yang diucapkan oleh temanku yang kiper itu terngiang lagi di kepalaku. Walaupun belum tentu bola yang kutendang tidak masuk gawang disebabkan kakiku yang licin, tetap saja timbul rasa bersalah pada diriku. Seharusnya, aku menolak jadi penendang penalti.