Kelap-Kelip Kunang-Kunang di Telapak Tangan dan Telapak Kaki Kami

Dirman Rohani
Chapter #8

Di Rumah Panggung Raisa

Sorenya, setelah gotong royong kami ke rumah Raisa. Pak Keuchik memberi apresiasi atas keberhasilan kami masuk babak final dan meraih juara kedua dengan mentraktir kami lontong buatan ibu Raisa. (Keuchik: sebutan Kepala Desa di Aceh).

Waktu kecil dulu, Raisa berserta beberapa teman perempuannya satu sekolah SD denganku. Kini, dia termasuk salah seorang gadis remaja yang memiliki paras cantik di kampungku. Banyak teman-temanku yang menaksirnya tapi beberapa di antara mereka tidak mau terang-terangan mengakuinya. Ketika lebaran, kami akan beramai-ramai ke rumahnya. Selain mengobrol dengan Raisa, tujuan lain kami berlebaran ke rumahnya karena dapat makan lontong sayur gratis sekenyang-kenyangnya. Sehari-hari ibu Raisa jualan lontong sayur di rumah panggungnya itu dan rasanya yang enak sudah terkenal sejak aku kecil.

Aku tidak memakai celana pendek ketika gotong royong di lapangan bola. Aku lebih memilih memakai celana training panjang. Nantinya ketika di rumah Raisa, jika telapak kakiku mulai berkeringat aku tetap dapat makan lontong dengan nyaman sambil menggosok-gosokkan telapak kaki di celana sehingga lantai kayu rumah panggung Raisa tidak ikut dibasahi keringat dari telapak kakiku. Begitu kami tiba di rumahnya Raisa langsung meminta kami naik ke rumahnya. Kami datangnya sudah terlalu sore, empat puluh menit lagi azan magrib, katanya sambil melihat jam kecil bulat di pergelangan tangannya.

Kami segera masuk ke ruang tamu rumahnya. Ruang tamu rumah panggungnya cukup luas dan memanjang ke samping. Terdapat beberapa buah kursi rotan panjang yang diletakkan merapat ke dinding. Piring-piring berisi lontong sudah diletakkannya di atas sebuah meja besar di salah satu sudut ruangan.

Ketika duduk menunggu teman-teman yang lain selesai mengambil lontong, seekor anak kucing oranye melompat ke pangkuanku. Sambil mengobrol tentang sepakbola dan diselingi tawa, aku mengelus-elusnya. Anak kucing itu pun langsung tertidur.

Raisa datang membawa sebuah panci berisi kuah lontong lagi.

“Tambah kuahnya, jangan malu-malu,” kata ibu Raisa yang datang membawa panci berisi kuah lontong sebuah lagi.

“Jangan malu-malu, Dra!” kata seorang temanku yang duduk di anak tangga paling atas. Dia duduk menghadap ke arah kami. Piring lontongnya diletakkannya di lantai.

“Seingat Mak, waktu kalian kecil, Samudra yang paling suka makan lontong.”

“Dia, semua suka, Mak. Biasanya tiap pagi beli kue adee, tapi entah kenapa sekarang sudah nggak lagi,” kata temanku yang lain. 

Lihat selengkapnya