Di kampung kami akan diadakan adu panco untuk menyemarakkan tujuh belasan nanti. Tujuh hari sebelum peringatan hari kemerdekaan, aku dan teman-teman mulai semangat-semangatnya latihan angkat barbel di belakang kios seorang teman. Barbelnya dibuat dari kaleng cat yang dicor semen di dalamnya. Sejak hari itu juga kami semua memaksakan diri makan sebanyak mungkin untuk menambah tenaga.
Pada hari ketiga latihan, kulit telapak tanganku yang di bagian pangkal jari-jari mulai gembung air dan ada yang terkelupas. Perih sekali rasanya. Karena itulah, aku ke rumah Paman Sabar untuk meminjam sarung tangan tukang yang bekas dipakainya. Sarung tangan rajut yang biasa digunakan oleh tukang bangunan itu akan kupakai selama melatih otot tangan, juga pada pertandingan panco nanti, kataku pada Paman Sabar. Paman Sabar malah memberiku sarung tangan baru. Ambil saja tak usah dikembalikan, katanya sambil tertawa.
Hari adu panco yang kami tunggu-tunggu pun tiba. Lapangan voli kampung kami tempat pertandingan panco diadakan tampak meriah dikelilingi umbul-umbul berwarna merah putih. Lapangan voli dibagi tiga bagian. Sebuah meja kayu tempat adu panco diletakkan di setiap bagiannya, tepat di tengah-tengahnya.
Jantungku deg-degan juga begitu melihat dari jauh sosok peserta bernomor 12 yang menjadi lawanku. Posturnya besar seperti atlet sumo jepang. Tidak banyak yang kutahu tentangnya. Namun, dia dikenal rajin membatu orangtuanya di sawah. Tenaganya sudah pasti kuat. Di sawah waktu musim panen padi aku pernah melihatnya menaikkan satu demi satu karung besar berisi padi ke atas becak motor tanpa dibantu orang lain. Aku dan dia memang sebaya, tapi karena dia bukan teman sepermainanku aku jarang berbicara dengannya.
Satu demi satu teman-temanku mulai bertanding. Peserta adu panconya bebas, tanpa batasan usia dan kategori berat badan. Setiap peserta hanya memiliki satu kali peluang untuk mengalahkan lawannya, tidak ada babak kedua. Yang kalah langsung tersingkir, yang menang akan diadu lagi dengan pemenang dari meja lain.