Biasanya kalau salat di masjid aku akan memilih berada dekat dengan kipas angin dan menempati saf bagian depan yang lantainya diberi karpet.
Pada suatu hari, aku terlambat datang salat jum’at sehingga terpaksa berada di saf belakang, di depan saf anak-anak kecil. Baru saja salat dimulai, tiba-tiba listrik PLN padam. Baling-baling kipas angin berhenti berputar. Seketika aku merasa seperti sedang terkurung di ruangan yang pengap. Dalam salatku aku menyadari keringat di telapak kakiku yang mulanya sedikit dan hanya berupa titik-titik air yang sangat kecil yang mendiami pori-pori kulit kini mulai mengalir jatuh membasahi lantai. Tidak ada yang bisa kulakukan selain pasrah. Tidak bisa aku menyekanya. Kebiasaanku menggosok-gosokkan telapak kaki di ujung celana tidak mungkin kulakukan dalam salat.
Begitu bangkit dari posisi sujud dan masuk rakaat kedua seorang kakek yang berdiri tepat di depanku keluar dari saf dan melangkah cepat ke arah pintu masjid, mungkin salatnya batal karena suatu hal. Aku pun maju perlahan untuk mengisi saf kosong terputus yang telah ditinggalkannya.
Tiba-tiba, terdengar suara gedebuk di belakangku yang diikuti suara tawa tertahan anak-anak kecil. Begitu selesai salat, aku berpaling ke belakang. Saf yang kutinggalkan tadi telah diisi oleh seorang anak kecil. Dia tampak sedang memijit-mijit betisnya, lalu berkata dengan suara kecil padaku, “Lantainya licin, Bang.”
Aku sama sekali tidak menggubris perkataannya. Kugosok-gosok telapak tangan segera ke kain celana karena setelah selesai salat, walaupun tidak sering, akan ada satu dua orang yang berada di kiri kanan ataupun di depanku mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
Lalu aku tercenung, andai yang terpeleset jatuh tadi orang yang sudah berusia lanjut, sangat mungkin akan mengalami cidera yang sangat serius. Penyebabnya, tentu saja keringat dari telapak kakiku. Oleh karena itu pada hari Jum’at berikutnya, aku mesti datang cepat supaya dapat berada di saf depan yang berkarpet.
*