Sebenarnya aku bukan tipe anak yang suka berdiam diri di rumah. Setiap hari aku bermain bersama teman-teman, baik teman di kampung maupun teman di sekolah. Sejak SD aku selalu menggunakan sepeda BMX biru kesayanganku itu ketika pergi bermain. Sedari dulu ketika sedang bermain baju di badanku sering dibasahi keringat karena keringatku banyak sekali. Bukan hanya ketika bersepeda kencang-kencang dan bermain kejar-kejaran saja, ataupun ketika bermain bola, butiran keringat juga langsung membasahi bajuku jika aku sedang berada di tempat-tempat yang agak pengap. Rasanya seperti sedang diterpa hawa panas dan sesaat kemudian seperti sedang diguyur hujan lebat hangat dari langit. Kadang kala juga, keringat akan mengalir deras dari kepala dan wajah jika aku sedang makan makanan yang terlalu pedas. Namun, jika terdapat kipas angin di tempat tersebut aku akan merasa nyaman. Embusan angin dari kipas angin yang di arahkan kepadaku membuat rasa panas yang kurasakan dapat hilang seketika. Meskipun demikian, hari demi hari yang kulalui ketika itu selalu berjalan dengan penuh kegembiraan. Mungkin, karena waktu itu di bagian telapak tangan dan telapak kakiku tidak ikut-ikutan berkeringat.
Karena telapak tangan dan telapak kakiku berkeringat, aku mulai tidak suka lagi berinteraksi dengan orang lain. Ketika dalam keadaan yang membuatku harus berada di antara orang-orang, apalagi dengan mereka yang belum kukenal, aku ingin secepat mungkin pergi menghindar. Sorot mata dengan tatapan aneh yang mereka perlihatkan ketika melihat ke arah tangan dan kakiku, terkadang membuatku jadi malu. Terkadang jika ada di antara mereka yang bertanya apakah aku sedang sakit, aku jadi bingung harus berkata apa. Masih saja ada orang yang mengatakan aku sakit paru-paru basah, ada juga yang bilang sakit jantung dan lemah jantung ketika aku tidak peduli lagi dengan penyakit-penyakit tersebut, tidak peduli pada telapak tangan dan telapak kakiku yang berkeringat. Aku sudah berupaya menjalani hari-hariku sebagaimana layaknya orang banyak, tapi kondisi telapak tangan dan telapak kakiku yang sering basah akan tetap dianggap aneh di mata orang-orang, yang di antara mereka belum tentu lebih sehat, lebih bugar, lebih kuat daripada diriku. Berada di antara mereka membuatku sangat tidak bahagia.
Aku merasa senang ketika sedang sendirian. Sepulang sekolah dan pada hari libur, jika aku lagi suntuk di rumah, cepat-cepat kukeluarkan sepeda BMX-ku dan kubawa mengarah ke sungai di pinggir kampung. Di sana sambil memancing terkadang aku membaca buku.
Aku jadi suka baca novel lagi. Tiga buku novel pemberian seorang teman yang sudah lama tersimpan dalam laci lemari pakaianku kuletakkan di atas meja belajarku. Aku tahu dia sangat suka membaca novel dan komik sehari setelah aku mengenalnya. Aku dan dia sudah berteman sejak lama, sedari kami masih kelas lima SD. Waktu itu, dia baru tinggal di sebuah kompleks perumahan yang tidak terlalu jauh dari kampungku.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika aku sedang mencari ikan cupang di sebuah rawa di pinggir jalan. Ketika aku keluar dari sela-sela rumput purun sambil membawa sebuah pengki dan sebuah botol plastik, dia mendekatiku dengan sepeda BMX-nya. Tatapan matanya terpaku pada tiga ekor ikan cupang dalam botol plastik yang kupegang. Aku segera keluar dari genangan air selutut, meletakkan pengki dan botol plastik berisi ikan cupang ke tepi jalan.
“Ikan laganya dijual?” Dia bertanya sambil turun dari sepeda, lalu ikutan duduk di sebelahku.
“Ambil saja, tapi jangan semua,” kataku sambil melepaskan lintah-lintah yang menempel di betis dengan batu kerikil.
“Aku mau pelihara, tapi satu tok.”
“Pilih sendiri yang kamu suka.” Lalu aku mengambil sebuah botol plastik kosong yang terikat di besi tengah rangka sepeda BMX-ku.
Tatapan matanya tertuju pada tanganku yang sedang mengisi air rawa ke dalam botol kosong tersebut. “Yang manapun boleh, kamu saja yang pilih, terserah kamu,” katanya kemudian.
“Kamu tinggal di mana?” tanyaku sambil mengeluarkan seekor ikan cupang dari dalam botol.
Dia menyebut namanya dan nama kompleks perumahan tempat tinggalnya, aku pun segera menyebut namaku dan memberitahu nama kampungku. Setelah kami berkenalan, aku segera memasukkan seekor ikan cupang ke dalam botol plastik yang baru kuisi air rawa. Lalu aku mengajaknya main ke rumahku.
“Besok pagi,” katanya dengan wajah senang lalu mengucapkan terima kasih begitu botol berisi seekor ikan cupang kuberikan kepadanya.
Besoknya, di pagi Minggu, dengan sepeda BMX-nya dia datang ke rumahku. Kami ke kebun kelapa di samping rumahku untuk minum air kelapa muda. Satu demi satu buah kelapa yang baru saja dikumpulkan di tengah kebun oleh ayahku bersama seorang pemanjat kelapa kugoyang-goyangkan, kucari yang tidak terdengar suara goncangan air di dalamnya.