Pada suatu hari Minggu, pagi-pagi sekali aku sudah berada di sungai dan duduk membaca novel di bawah sebatang pohon bakau besar. Tiba-tiba muncul keinginan yang teramat besar di dalam diriku untuk menelusuri sekitar. Tanah di seberang sungai merupakan lahan rawa dan kebun-kebun tak terurus warga sekitar, dan bukanlah kawasan yang asing bagiku, hampir setiap bagiannya jadi tempat bermain bersama teman-teman masa kecilku dulu.
Aku teringat pada sebatang pohon beringin besar yang bagian pohon utamanya tersembunyi dari pandangan mata orang-orang. Hanya cabang-cabangnya yang terlihat, itu pun jika ditatap dari jauh. Pucuk-pucuknya bagai muncul begitu saja di langit di antara pucuk-pucuk pohon rumbia. Dahulu, kami menyebutnya pohon tidur, karena pohon beringin tersebut tumbuh miring, bahkan hampir rebah ke tanah, tapi cabang-cabangnya tumbuh melengkung menuju ke langit. Daripada berjalan tanpa tujuan, aku memutuskan ke sana dan pulang lebih dahulu untuk mengambil parang.
Tidak lama kemudian aku tiba lagi di sungai. Dan setelah menyembunyikan sepeda di balik semak-semak, dengan gembiranya aku menuju ke tempat pohon tidur yang tersembunyi.
Alur sungainya berkelok-kelok sehingga ketika tiba di suatu tempat aku harus menyeberang sungai lagi. Dua batang pohon bakau kecil sepanjang kurang lebih dua belas meter yang baru saja kutebang di tepian sungai akan kujadikan jembatan untuk menyeberang. Jembatannya kubuat di atas bagian badan sungai yang tidak terlalu lebar. Batang bakaunya kurebahkan dan kedua ujungnya kuletakkan di atas akar pohon bakau yang cukup besar.
Ketika meniti di atasnya, aku harus merentangkan kedua tangan untuk menyeimbangkan badan. Jembatan batang bakaunya agak goyang karena ujungnya yang satu lagi belum terikat pada batang pohon bakau yang tumbuh di seberang sungai.