Pada suatu hari, ketika pulang sekolah aku masuk ke sebuah toko fotokopi. Kertas kopian cerpen yang dulu kutulis bersama teman masa kecilku itu akan kukopi ulang karena kertasnya mulai menguning.
Setelah menggosok-gosokkan telapak tangan di celana, aku mengeluarkan lipatan kertas cerpen itu dari sebuah buku tulis di dalam tasku.
“Kopi, Bang. Tiga lembar,” kataku sambil membuka perlahan lipatan kertasnya lalu meletakkannya ke atas bufet kaca di depanku.
“Tunggu sebentar Dik,” kata si petugas fotokopi dari balik mesin fotokopi.
Si petugas fotokopi tampak masih sibuk. Sambil menunggu giliranku, aku mengusap kertas cerpen itu berulangkali dengan tanganku. Kucoba merapikannya serapi-rapi mungkin supaya nanti hasil fotokopinya benar-benar bagus. Tentu saja setiap kali akan mengusapnya, kugosok-gosokkan telapak tanganku lebih dahulu di celana.
Tiba-tiba, terdengar suara parau bernada mengejek yang keluar dari mulut seorang anak laki-laki yang juga mengenakan seragam SMA. Dia berdiri di sebelahku dan tampaknya sedang menunggu kopiannya juga. “Tangan pengang tai,” ulangnya sekali lagi.
Spontan aku berpaling ke arahnya. Mulutnya tersenyum menyeringai dan tatapan matanya masih tertuju ke tanganku. Merasa dihina, tanpa berkata apa pun langsung kutinju wajahnya.
“Sudah, sudah!” kata seorang laki-laki dewasa berseragam TNI yang juga sedang menanti kopiannya.
Dengan maksud melerai dia menolak badanku keluar toko. Dia lalu mengambil kertas cerpenku yang belum dikopi dan menyerahkannya kepadaku. Aku pun cepat-cepat pergi mencari toko fotokopi lain.
Setelah selesai mengopi kertas cerpen, kulangkahkan kaki cepat-cepat menuju ke sebuah toko sport di deretan pertokoan di kawasan belakang masjid raya Baiturrahman. Ketika melewati pagar belakang masjid, sebuah lapak pedagang kaki lima yang menjual benda-benda antik menarik perhatianku.
Beberapa buah manggis, kacang tanah, biji nangka, bawang putih, yang semuanya berupa batu tampak bertaburan di sela-sela pistol-pistol jadul, pedang-pedang samurai jadul, dan keris-keris tua, yang semuanya terpajang di atas selembar terpal plastik berwarna biru muda.
Si penjual yang duduk di pinggir terpal sedang merokok dan sesekali terbatuk-batuk. Asap rokoknya berkepul-kepul seperti asap dari cerobong kereta api jaman belanda. Aku sangat tertarik dengan pistol jadul itu. Pistol seperti itu hanya pernah kulihat di film-film perang zaman dahulu. Seperti dalam film Cut Nyak Dien. Kubayangkan, pasti jadi pemandangan yang keren sekali andai pistol itu terpajang di dinding kamarku.
“Boleh dipegang, Bang. Lihat-lihat dulu?” tanyaku ragu-ragu sambil berjongkok.