Tidak lama kemudian aku menerima surat balasan lagi darinya. Dia mengatakan cerpen yang kutulis itu persis kejadian aslinya. Lalu aku membaca suratnya dengan suara agak keras. Coba tulis cerpen anak, Dra. Kirim ke majalah Bobo. Kalau dimuat ada honornya. Honornya ditransfer ke nomor rekening bank kita. Sudah punya rekening bank kan Dra? Kalau belum punya, ke bank, Dra, bikin buku tabungan. Coba juga tulis novel, Dra. Tapi yang mudahnya cerpen dulu. Lebih bagus lagi minta guru bahasa Indonesia membacanya, Dra. Minta pendapatnya. Jika ada kalimat-kalimat yang belum enak dibaca bisa kamu perbaiki atau ditulis ulang.
Aku menyimpan suratnya. Kata-kata menulis cerpen, menulis novel, honor, rekening bank, semuanya bermain-main di dalam pikiranku.
*
Demi membuat rekening bank aku tidak langsung ke sekolah. Aku bolos pada jam pelajaran pertama, pelajaran bahasa Indonesia. Alasanku berbuat demikian karena jika sepulang sekolah aku ke bank, nanti tiba di rumah sudah pukul tiga, dan jika sampai ketiduran, aku akan terlambat ke lapangan bola. Lagi pula begitu pulang sekolah nanti aku mau langsung pulang ke rumah supaya dapat ke pohon tidur sebelum ke lapangan bola.
“Ada yang bisa saya bantu, Dik?” Seorang satpam yang berdiri di sebelah pintu kaca menyambut ramah begitu aku masuk.
“Mau buka rekening, Bang.”
“Langsung ke kakak itu, Dik.” Dia mengarahkanku ke sebuah meja.
Suasana masih sepi. Sejuk AC menyapu wajahku ketika si kakak mempersilakan aku duduk di kursi berbusa tebal di depan mejanya. Nyaman sekali rasanya berada di sini, tidak seperti di ruangan kelas ataupun di pustaka. Andai ruang pustaka sekolahku juga memiliki AC ….
Si kakak meminta kartu pelajarku beserta fotokopinya, lalu setelah menyebutkan jumlah uang paling sedikit untuk setoran pertama sebagai persyaratan membuka rekening, dia meletakkan sebuah pulpen beserta selembar formulir di atas meja.
Semoga harapanku dalam lamunan tadi tentang penyejuk udara di pustaka benar-benar jadi kenyataan pada suatu hari nanti. Aku mengeluarkan kartu pelajar dan kertas fotokopinya dari tas, meletakkannya di atas meja. Si kakak mengambilnya, memperhatikannya dengan sungguh-sungguh.
“Samudra.” Dia membaca namaku.
“Nama Kakak?” tanyaku iseng. Padahal aku sudah membaca namanya di kartu indentitas pegawai bank yang terpasang di pakaiannya.
Dia tersenyum sambil menyebut namanya, “Vivi.”
“Samudra, isi formulirnya dulu, Dik,” katanya kemudian. Lalu tatapannya beralih ke monitor komputer di sebelahnya.
“Panggil Dra saja, Kak.”
Wajahnya tak asing di mataku. Dia pun juga sering melihatku. Aku mengeluarkan sapu tangan dari saku celana dan meletakkannya di atas lembaran formulir.
“Kakak kira uangnya.” Dia sudah menghadapkan kembali wajahnya ke arahku dan tersenyum lagi.