Kelap-Kelip Kunang-Kunang di Telapak Tangan dan Telapak Kaki Kami

Dirman Rohani
Chapter #18

Aku Merasa Sangat Bahagia

Rabu, Kamis, dan hari ini. Berarti sudah tiga hari berturut-turut aku dan dia duduk saling berhadapan di dalam labi-labi yang sama ketika pergi pulang sekolah. Diam-diam aku memperhatikannya sejak Kamis. Jadinya aku tahu, sosok berjaket kanvas coklat muda di hadapanku itu sorot matanya selalu tertuju ke tanganku ketika aku menggosok-gosokkan telapak tangan di celana, dan begitu mataku bertemu dengan matanya, cepat-cepat dia mengalihkan pandangan ke balik kaca jendela di sebelah bahu kananku.

Tidak lama kemudian labi-labi ini pasti akan berhenti di tempat Kak Vivi berdiri. Biasanya Kak Vivi duduk di sebelahnya, lalu menyapaku dan kami mengobrol sesaat sebelum labi-labi berhenti di tempat-tempat berikutnya untuk mengambil penumpang yang lain. Tapi pagi Jum’at kali ini, labi-labi hanya melambat sesaat saja di tempat itu lalu melaju kencang lagi. Tidak ada Kak Vivi di situ.

Aku masih belum tahu dia anak SMA mana karena penampilannya selalu memakai jaket. Sesekali dia memasukkan kedua tangannya ke balik jaket, ke bagian bawah jaket yang tampak kedodoran dan terjulur hampir mencapai lututnya. Mungkin bukan kedodoran, mungkin memang modenya yang seperti itu, agak panjang. Begitu labi-labi berhenti di stasiun, aku dan dia langsung berpisah. Aku dan dia melanjutkan perjalanan ke sekolah masing-masing dengan labi-labi rute berbeda. (Angkot di kota Banda Aceh disebut labi-labi: mobil pikap yang bagian belakangnya dibuatkan atap dan dinding. Penumpangnya duduk berhadapan di bangku panjang yang menempel di sepanjang kanan dan kiri dindingnya).

Sore Sabtunya ketika aku baru saja masuk ke sebuah toko buku kulihat dia sedang berdiri dengan santainya dan menyandarkan badannya pada sebuah tiang beton bulat yang tegak di antara barisan rak novel. Kelihatannya dia sedang membaca-baca tulisan singkat di bagian belakang sampul novel yang dipajang di situ. Supaya tidak berjumpa lagi dengannya, aku berpura-pura melihat-lihat buku di rak buku yang terdekat denganku sambil sesekali mengamati gerak-geriknya. Maunya aku, dia cepat-cepat pergi ke rak buku yang lain, atau menjauhi barisan rak novel sejauh mungkin. Akan tetapi, ketika aku menoleh lagi ke arahnya, tatapan matanya malah sedang tertuju kepadaku. Spontan aku menunduk dan pura-pura memperhatikan buku yang sedang kupegang. Dari penglihatan sudut mataku ketika melirik ke arahnya, dia tampak sedang berjalan ke arahku. Mungkin akan menuju pintu keluar yang berada tak jauh di sebelahku. Akan tetapi, bukannya terus melewati, dia malah menghampiriku.

“Cari buku?”

Terdengar suaranya. Tidak ada seorang pun di dekatku, pertanyaannya itu sudah pasti ditujukan kepadaku. Lagi pula begitu kuangkat wajahku dan kulihat matanya, dia sedang menatap mataku.

“Cuma lihat-lihat. Kamu?”

“Lihat aku?” Dia tersenyum.

Bukannya untuk membalas senyumnya, hanya saja sebenarnya aku mau tertawa. “Maksudku, lihat buku,” kataku sambil menahan tawa.

“Aku juga lihat-lihat dulu, kalau ada novel yang menarik, baru beli.” Dia lalu mengulurkan tangan sambil menyebut namanya.

Sebelum berjabat tangan dengannya, kugosok-gosokkan telapak tanganku di celana. Melihat kebiasaanku itu dia pun segera menurunkan tangannya dan menggosok-gosokkan telapak tangannya juga di saku samping jaketnya. Kali ini dia memakai jaket berwarna biru. Setelah itu barulah dia mengulurkan tangannya sambil menyebut namanya lagi. “Gemala.”

Setelah berjabat tangan dengannya sambil menyebut namaku, aku terdiam. Apakah dia sengaja mengolok-olokku ketika menggosok-gosokkan telapak tangannya di jaketnya? Tanyaku dalam hati.

Lihat selengkapnya