Cuaca mendung pada pagi Senin menghalangi sinar matahari yang baru terbit. Seperti biasanya setiap pagi ketika berangkat ke sekolah dengan labi-labi aku selalu menjadi penumpang pertamanya. Lalu labi-labi berhenti mendadak di tempat Gemala berdiri menanti. Dan Kak Vivi yang menjadi penumpang ketiganya, tapi dia tidak tampak lagi sejak Jum’at, sehari sebelum aku berkenalan dengan Gemala di toko buku.
Gemala masuk ke labi-labi dan kini memilih duduk di sebelahku. Tangannya sesekali masih juga dimasukkan ke balik jaket. Sekarang aku tahu tujuannya berbuat seperti itu. Tidak ada bedanya dengan kebiasaanku menggosok-gosokkan telapak tangan di celana.
“Dra, kamu sering diajak ngobrol sama kakak yang naik di simpang jalan sebelum Taman Budaya. Siapa, Dra?”
Aku memberitahu namanya dan tempat kerjanya dan kenal dengannya ketika aku membuat rekening bank. Hanya sampai di situ. Aku tidak akan menceritakan pada Gemala tentang tujuanku membuat rekening bank, tentang menggebu-gebunya keinginanku menulis cerpen, juga tentang surat dari teman masa kecilku itu. Kurasa memang tidak perlu kuceritakan. Mungkin tidak untuk saat ini.
“Nggak kelihatan lagi Kak Vivi itu, mungkin naik labi-labi lain ya, Dra?”
“Nanti aku kenalin.”
“Mau, Dra. Tambah banyak kawan. Di mana rumahnya, Dra?”
“Rumahnya aku nggak tahu, La,” kataku sambil mengeluarkan sebuah bungkusan kantong plastik bening kecil dari tas. Lalu aku meletakkannya di tangannya. “Pernah lihat dan tahu nama buah ini, La?”
Gemala tampak penasaran dan segera membuka karet kecil yang melilit di mulut kantong plastik, lalu dengan sungguh-sungguh memperhatikan buah-buah kecil berwarna merah dan kuning yang ada di dalamnya.
“Mirip jambu monyet. Tapi ini lucu, bentuknya kecil. Jambu monyet jenis kecil?” Lalu dia mengeluarkannya satu biji yang berwarna merah dan memperhatikannya lagi. “Aku belum pernah lihat jambu monyet sekecil ini.”
“Bukan jambu monyet. Tapi bentuknya memang mirip. Aku menyebutnya buah kingking.”
Setelah kuceritakan bahwa sebutan kingking untuk nama buah kecil itu tak kuingat lagi pernah kudengar dari siapa sewaktu aku masih SD dan pohonnya pun tidak terlalu dipedulikan orang karena hanya dianggap tumbuhan semak, dia penasaran dan ingin sekali melihat pohonnya langsung ke tempat tumbuhnya.
“Yang buahnya merah ada tumbuh sebatang di antara batang kuda-kuda di pagar sebuah kebun yang dekat sawah. Di kebunku yang di sebelah rumahku ada juga, ada dua batang, merah dan kuning, tapi sudah habis kupetik semua kemarin, buahnya yang kubawa ini,” kataku kemudian.
“Lihat yang tumbuh di kebun dekat sawah boleh juga, Dra. Kapan kita ke sana, Dra?”
“Nanti sore?”
“Aku ke rumahmu naik labi-labi turun di mana nanti, Dra?”
“La, ada sepeda?”
“Ada.”
Lalu aku mengajaknya bersepeda, aku akan ke rumahnya lebih dahulu dari jalan belakang.
“Dari jalan belakang bisa tembus ke sana, Dra?”
“Malah lebih dekat. Jalannya juga sepi.”
Dia akan menungguku di tempat biasanya dia naik labi-labi, katanya.
“Boleh juga. Tapi … nanti pakai topi, ya?”
“Kenapa?”
“Pakai jaket juga, ya?”
“Kenapa, Dra?”
“Nggak enak dilihat orang.”
“Karena bawa cewek?”
“Heboh nanti kalau dilihat kawan-kawanku.”
“Maksudmu, aku menyamar jadi cowok, Dra?”