Kelap-Kelip Kunang-Kunang di Telapak Tangan dan Telapak Kaki Kami

Dirman Rohani
Chapter #20

Meriam Karbit

Setelah agak jauh meninggalkan persawahan, aku mengarahkan sepeda BMX-ku ke seruas jalan yang akan melewati rumah Raisa. Karena lapar dan sebenarnya juga haus, aku mengajak Gemala makan lontong sayur. 

“Di mana warungnya, Dra?”

“Bukan warung, tapi di rumah.”

“Kapan tanding bola lagi, Dra?!” Seorang temanku bertanya dari kolong rumah ketika kami lewat di depan rumah panggungnya.

“Belum tahu, belum ada info!” sahutku.

“Banyak ijuk di depan rumahnya. Mereka bikin apa, Dra?” tanya Gemala.

“Bikin sikat ijuk.”

Setiba di rumah panggung Raisa, aku mengajak Gemala duduk di balai-balai kayu di bawah pohon sawo.

“Sepi, Dra?”

“Volumenya dikecilkan lagi,” kataku dengan suara kecil sambil memperagakan gerakan tangan yang seakan-akan sedang memutar tombol pengatur besar kecil suara radio. “Biasanya pagi dan malam baru ramai,” kataku lagi masih dengan suara kecil sambil bangkit dari duduk.

“Rumah panggungnya adem, Dra,” kata Gemala dengan suara kecil dan tatapannya tertuju pada badan-badan botol berwarna hijau yang menyembul di permukaan tanah di sekeliling rumah. Botol-botol hijau itu tertanam terbalik rapat tanpa celah antara satu dengan yang lainnya di jarak satu meter dari rumah. “Botol-botol itu untuk apa, Dra?”

“Mungkin cuma sebagai hiasan. Tunggu sebentar di sini, La.”

Lalu aku masuk ke dapur rumah yang rapat di bawah bagian belakang rumah panggungnya. Aku lega hanya ada ibunya. Jika ada Raisa, pasti dia akan memintaku menunggu di luar saja dan dia yang akan mengantarkan lontong sayurnya kepada kami. Aku tidak mau Raisa melihat Gemala. Bakal dijadikan bahan gosip sama teman-temannya nanti: aku bawa pacar makan lontong di rumahnya.

Tidak lama kemudian aku keluar dengan dua piring lontong sayur di tangan. Tentu ketika di dapur tadi, aku minum air putih banyak karena haus. Membuat ibu Raisa heran.

“Air minumnya mana, Dra?”

“Kamu kan bawa air minum?”

“Kamu?”

“Gampang, minum di dalam nanti.”

Sambil makan, tatapan Gemala tertuju ke gulungan-gulungan rotan kecil di kolong rumah.

“Rotannya buat bikin pengki.” Aku memberitahukannya sebelum ditanya.

“Siapa yang menganyamnya, Dra?”

“Ibu-ibu di sekitar sini.”

“Dra, saat kita berada di jalan pinggir sawah yang di belakang mesjid tadi, ada nenek-nenek bawa tanah liat di atas kepalanya.”

“Buat bikin belanga.”

“Oh, buat bikin belanga. Jadi ingat film Ghost.”

“Kamu mirip juga dengan Demi Moore, La.”

Gemala mengikik. “Kamu mirip Sam.”

“Siapa itu, La?”

Lihat selengkapnya