Pagi Minggu pukul tujuh lima belas, aku dan Gemala bersepeda mengarah ke sungai di pinggir kampungku. Aku juga sudah berencana mengajaknya ke pohon tidur setelah memancing ikan suik. Tentang kakek Paman Sabar yang telapak tangannya juga berkeringat akan kuberitahu Gemala ketika kami di sana nanti.
“Tanah kuburan, Dra?” tanyanya sambil turun dari sepeda. Tatapan matanya tertuju ke batu-batu bulat besar yang tergeletak tak beraturan di bawah tiga pohon sukun besar di tanah bergunduk-gunduk, tak jauh dari sungai.
“Kuburan orang jaman,” kataku sambil mendorong sepeda mengarah ke semak-semak di tepi sungai. Lalu Kami menyembunyikan sepeda di balik semak-semak itu.
“Haus, Dra.” Gemala menduduki ujung batang pohon kelapa tumbang yang semua daunnya sudah diambil orang, lalu dia meneguk air minum dari botol yang dibawanya.
Sementara Gemala melepas lelah, kuarahkan pandangan ke kumpulan rumpun-rumpun pohon bakau tua di seberang sungai. Akar bakau besar yang biasanya kududuki ketika aku memancing tidak terlihat dari tempat ini. Di sana cukup aman menurutku, keberadaan kami di sana nanti tidak akan diketahui orang yang lewat di tempat ini.
Lalu aku mengajaknya ke seberang sungai. Perlahan dia meniti di belakangku sambil berpegangan pada seutas tali besar yang terentang di sepanjang jembatan yang dibuat dari tiga batang pohon pinang besar yang rapat dan rebah tak jauh di atas permukaan air.
Ketika aku sudah tiba di seberang, dia masih berada di tengah-tengah jembatan. Aku menunggunya di bawah pohon bakau.
“Yang di dalam air itu batu nisan juga, Dra?!” tanyanya kemudian begitu sudah berada di ujung jembatan. Dia merundukkan badan, memperhatikan batu-batu nisan yang teronggok tak beraturan di tempat-tempat tertentu di dasar tepian sungai.
“Sudah dibilang dari tadi kuburan orang jaman, masih juga nanya!”
“Yang ini bentuknya unik, Dra. Berukir dan ada tulisannya. Peninggalan dari jaman kerajaan ya, Dra?!”
“Jadi mancing, nggak?!”
Cepat-cepat aku berjalan ke balik semak-semak, dan Gemala menyusul dengan agak berlari sambil tertawa. Tidak lama kemudian kami tiba di pohon bakau besar itu. Aku segera naik ke akarnya dan mengeluarkan sebuah paduk pancing plastik dari tas pinggangku. Gemala menyusul, lalu berdiri di sebelahku.
“Cuma satu pancingnya, Dra?”
“Mancingnya juga iseng, buat apa banyak-banyak.”
“Umpannya apa, Dra?”
“Cacing.”
“Hah … yang lain ada, Dra?”
“Udang.”
“Udang saja, Dra.”
Setelah memberikan paduk pancing kepadanya, aku melipat ujung celanaku sampai ke lutut lalu turun dari akar bakau.
“Mau kemana, Dra?”
“Tunggu di situ, nggak lama.”
“Mau kemana?”
“Cari udang,” kataku ketika aku masuk ke dalam air lalu menyusuri tepian sungai.
“Pakai apa tangkapnya, Dra?!”
“Kelapa bolong!”
“Kelapa bolong?”
“Ada di dalamnya.”