Kelap-Kelip Kunang-Kunang di Telapak Tangan dan Telapak Kaki Kami

Dirman Rohani
Chapter #26

Ke Pohon Tidur Untuk Terakhir Kali

Pada hari Minggu berikutnya aku dan Gemala menuju ke pohon tidur.

Gemala berdiri mematung di atas akar bakau yang kujadikan titik tumpunya pangkal jembatan yang kubuat dari dua batang pohon bakau itu. “Nggak ada jalan lain, Dra?!”

“Nggak!” kataku dengan suara agak keras dari seberang sungai. Aku berdiri menantinya di ujung jembatan.

“Jalan belakang?!”

“Jauh!”

“Nggak apa-apa. Dari jalan belakang saja!”

“Jauh, lewat dari lorong ke rumah kawanku. Setengah jam dari sini!”

“Kamu buat jembatannya kenapa kecil begini!”

“Anak pramuka nggak boleh mengeluh!”

“Airnya dalam nggak?!”

“Dangkal, cuma sebatas leher!”

“Leher siapa?!”

“Leherku!”

“Dalam itu, Dra. Bisa tenggelam kalau aku jatuh!”

“Berenang!”

“Aku nggak bisa berenang!”

“Kemarin kenapa nggak makan udang hidup yang di dalam buah kelapa bolong?”

“Buat apa?!”

“Biar jago berenang!”

“Apa hubungannya!”

“Tunggu sebentar!”

Cepat-cepat kupotong sebatang pohon bakau kecil untuk dijadikan pegangan.

“Ini pegang di ujungnya!” kataku sambil melangkah ke tengah jembatan dan membawa batang bakaunya.

Gemala memegang ujung batang bakau yang kuberikan itu, lalu dia melangkahkan kakinya pelan-pelan, pelan sekali bahkan. 

“Di mana pohon tidurnya, Dra?” tanyanya begitu berhasil menyeberang. “Apa masih jauh?”

“Di sana, di tengah hutan pohon rumbia yang di sana itu.”

Tidak lama kemudian kami pun tiba di depan hutan pohon rumbia.

“Pohon rumbia semua. Pohon tidurnya yang mana?”

“Kalau dapat dilihat bukan tempat rahasia lagi namanya. Ayo ikut.”

“Itu gundukan tanah berlumpur hitam gitu apa, Dra?” tanyanya kemudian ketika kami melangkahkan kaki di antara anak pohon rumbia di dalam hutan pohon rumbia.

“Sarang kepiting.”

“Nggak ada yang tangkap, Dra?”

“Jenis yang tidak bisa dimakan. Bisa mabuk dan keracunan kalau dimakan.”

Tidak lama kemudian, kami pun tiba di pohon tidur.

“Pohon beringin, Dra?”

“Masuk, La.”

“Pondok ini kamu yang bikin, Dra?”

“Bukan.”

“Siapa yang bikin, Dra, katanya tempat rahasia?”

“Bidadari yang bikin, ketika dulu dia turun mandi di sungai.”

Tawa kecil Gemala menyusup ke rongga-rongga kecil gelap yang terbentuk oleh rambatan serampangan akar-akar pohon tidur.

“Duduk, La.”

Gemala menduduki ujung balai-balai seraya menurunkan ransel yang disandangnya ke dalam pelukannya, lalu membuka ritsleting ranselnya. ”Ini bukunya, Dra.”

“Nanti, La. Bukuku nggak kubawa. Pulang nanti kita singgah dulu di rumahku.”

“Nyamuk, Dra.” Tangannya menghalau nyamuk lalu menutup kembali ritsleting ranselnya.

Satu saset losion anti nyamuk yang kusimpan di salah satu rongga di antara akar pohon tidur yang bergelantungan di balik badanku kuberikan kepadanya.

“Kamu betah lama-lama di sini, Dra?”

“Tenang di sini kan, La?”

“Kalau cuma buat baca buku kan bisa di kamarmu, Dra?”

Lihat selengkapnya