Sepanjang pertandingan yang berlangsung selama dua kali empat puluh lima menit, kami lebih banyak bertahan, hanya sesekali melakukan serangan balasan, itu pun jika ada peluang. Tim lawan yang diperkuat empat pemain pro memang lebih banyak menguasai bola, tapi pertahanan kami pun cukup solid untuk mengimbangi permainan cepat mereka. Kami cukup puas dan bangga dapat menahan skor imbang, tanpa kebobolan. Skornya tetap kosong-kosong hingga pertandingan berakhir.
“Semua pemain bola besok ke rumah Raisa, saya traktir lontong!” seru kepala desa, “Tapi saya terhalang bergabung bersama kalian berhubung ada rapat di kantor camat. Sudah saya infokan ke Raisa. Jadi, besok setelah latihan kalian langsung saja ke rumahnya.”
“Besok istirahat dulu, Pak. Lusa baru mulai latihan lagi,” kata si kapten.
“Boleh, boleh. Nanti saya infokan ulang kepada Raisa. Satu lagi, lupa saya tadi, berhubung anggaran terbatas, jadi … setiap orang hanya dapat jatah satu porsi, jangan ada yang nambah, ya?”
“Siap, Pak!” sahut kami nyaris bersamaan lalu berlanjut dengan tawa.
*
Dua hari kemudian, ketika aku baru keluar dari halaman rumah, temanku yang pernah buat benang gelasan bersamaku mengadangku di pintu pagar. Kutekan rem ban depan dan ban belakang sepeda bersamaan.
“Mau latihan, Dra?”