Kami mengakhiri latihan lebih cepat dan segera ke rumah Raisa. Kali ini aku pun memakai celana training yang memang sengaja kubawa. Nantinya dapat kujadikan sebagai tempat menyeka keringat jika telapak kakiku berkeringat.
“Kuahnya ambil sendiri seperti biasa,” kata Raisa. Dia berdiri di bawah pohon sawo menanti kami. Lalu dia mempersilakan kami naik ke rumahnya.
Sebagian teman-teman memilih duduk di balai-balai dan kursi plastik di bawah pohon sawo yang disediakan Raisa. Mereka mengambil lontong sayurnya langsung di dapur. Sedangkan aku bersama beberapa teman yang lain naik ke rumah panggungnya dan menduduki kursi rotan di ruang tamu.
Anak kucing itu mendekatiku lagi, dan setelah menggesek-gesekkan kepalanya di betisku, ia melompat ke pangkuanku. Selagi aku menunggu teman-teman selesai mengambil lontong, kuelus-elus kepalanya.
“Sa, si oyen apa sudah disampo?” tanya seorang temanku sambil makan. Dia memilih duduk di anak tangga teratas dan meletakkan piring lontongnya di lantai rumah, tepat di ambang pintu.
Sambil menuangkan lagi kuah lontong dari panci kecil di tangannya ke panci besar di atas meja, Raisa melihat ke arahku sesaat.
“Turunin si oyen, Dra!” kata temanku yang lain.