Pada suatu siang, seperti biasanya ketika pulang sekolah aku menemui Gemala yang sedang berdiri menanti di depan pertokoan dekat pintu keluar stasiun labi-labi. Aku mengajaknya masuk ke pasar Aceh untuk membeli buah punti.
“Mau, Dra. Coba dulu satu. Gimana rasanya, Dra?”
“Dibuat jus seperti buah alpukat. Tapi agak kelat rasanya.”
“Boleh dicampur susu, Dra?”
“Boleh juga. Aku biasanya pakai sirup. Tapi kalau nenekku dulu pakai santan.”
Lalu kami menyeberangi lintasan jalan labi-labi dan masuk ke pasar. Setiba di lapak jualan si nenek aku langsung berjongkok di depannya, diikuti Gemala. Kami memilih-milih buah punti yang akan kubeli.
“Kamu yang milih, Dra. Bingung mau ambil yang mana.”
“Tangannya berkeringat, ya?” tanya si nenek begitu aku menggosok-gosokkan telapak tangan di celana. Mungkin si nenek tak ingat lagi padaku.
“Iya, Nek.” Aku kembali membolak-balik buah punti dan sesaat kemudian bertanya, “Apa obatnya , Nek?”
“Taruh putih telur.”
“Sudah pernah Nek. Nggak sembuh.”
“Oh, berarti putih telur hanya bisa untuk mengecilkan pori-pori di wajah.”
Aku menatap wajah si nenek dengan sungguh-sungguh, Gemala menyikut pinggangku. Dia masih berjongkok di sebelahku.