Kami turun dari labi-labi tepat di depan gedung Bioskop Jelita. Hampir semua dinding bangunannya tertutupi lukisan-lukisan poster film. Kami lalu berjalan kaki menelusuri trotoar di atas jembatan panjang. Jembatan Beurawe namanya. Aliran air sungai Krueng Aceh mengalir tenang di bawahnya. Kami mengarah ke simpang Surabaya. Disebut simpang Surabaya karena dulunya sekitar tahun 1970 hingga 80-an menjadi tempat menunggu bus yang menuju Jakarta dan Surabaya, kata Fahrul dalam obrolan kami yang sedang lapar dan haus.
“Tahun delapan puluh umur kita masih tiga tahun, Rul.”
“Cerita yang kudengar dari orang-orang tua di kampungku, begitu katanya, Dra.”
“Rul, aku beli nasi bungkus dulu.”
“Jangan, Dra. Marah mamakku nanti.”
Setelah melewati simpang Surabaya dan meninggalkan jalan raya, kami pun tiba di jalan utama kampungnya. Kami terus berjalan sambil mengobrol dan tertawa. Sekitar seratus meter kemudian dia menghentikan langkahnya tepat di depan pintu pagar sebuah rumah besar bercat hijau muda dan memiliki halaman luas yang banyak pohon-pohon mangga dan jambu.
“Sudah sampai, Rul?”
“Nggak jauh lagi.” Dia lalu diam, tampaknya sedang memikirkan sesuatu.
“Kenapa, Rul?”
“Dra, ini rumah Kamelia.”
“Besar kali rumahnya, Rul.”
“Bapaknya toke emas. Banyak toko emasnya.”
“Satu kampung kalian, Rul?”
“Rumahku di perbatasan, tapi masuk ke kampung lain.” Fahrul melangkahkan kakinya lagi dan berhenti lagi di sudut pagar rumah Kamelia.
“Ajak Kamelia, Dra. Kalau dia mau ikut, berlipat-lipat ganda semangat kita.”
“Boleh juga, ayo!”
“Di rumahnya dia dipanggil Lia. Kamu saja sendirian, Dra. Aku lagi nggak pas sama abangnya, ribut masalah harga ayam kemarin.”
“Ayam?”
“Ayam siamku. Dimintanya di bawah harga pasaran.”
Aku segera balik arah dan melangkahkan kakiku dengan penuh percaya diri. Tapi begitu tiba di pintu pagar mulai muncul keraguan. Bukankah... aku tidak lagi suka dengan Kamelia? Tapi ini tidak ada hubungannya dengan perasaan. Usul Fahrul tadi hanya untuk mengajaknya ikut bergabung mengerjakan PR. Jika dia tidak mau, tidak apa-apa juga. Tapi kurasa itu alasan yang kubuat-buat saja. Sebenarnya... aku memang ingin menemuinya di rumahnya, untuk minta maaf atas perkataanku itu. Tapi ini juga alasan yang kubuat-buat. Yang tepatnya aku disuruh Fahrul menanyakan apakah dia mau ikut bergabung mengerjakan PR matematika. Nah, kurasa memang itu yang benar. Aku pun masuk ke halaman rumahnya setelah menutup lagi pintu pagarnya.
Setelah mengucapkan salam, aku memencet bel yang menempel di tembok dekat ambang pintu. Pintu depan rumahnya dalam keadaan terbuka. Seorang ibu sedang menonton TV di sebuah ruangan yang setengah bagiannya dapat terlihat dari tempatku berdiri.
“Waalaikumsalam. Siapa?”
“Ada Lia, Bu?”
“Belum pulang, mungkin lagi di jalan. Masuk, Nak. Teman sekolahnya ya?”
“Iya, Bu. Saya Samudra.”
“Masuk. Duduk di dalam.”
Aku melepaskan sepatu, lalu masuk mengikuti ibu Kamelia.
“Duduk, Nak.”
Aku segera duduk di sofa besar yang sangat banyak jumlahnya di ruang tamunya yang besar dan mewah. Kugosok-gosokkan telapak kakiku di ambal tebal yang menutupi lantai di bawah meja hingga sofa.