Begitu selesai salat isya muncul keinginan menulis sebuah cerpen. Kubuka buku tulis dan kuletakkan sapu tangan di atasnya. Tapi tidak tahu cerita apa yang mau kutulis. Aku termenung di depan meja belajar, lalu tiba-tiba malah teringat momen pemilihan ketua kelas.
Yang berminat jadi ketua kelas tunjuk tangan, kata wali kelas kami Pak Zainuddin pagi itu. Hampir semua teman-temanku mengangkat tangan tinggi-tinggi. Sebagaimana Pak Zainuddin yang tampak kaget, aku pun demikian. Biasanya banyak yang menolak ketika ditunjuk atau diminta jadi ketua kelas.
Lalu Pak Zainuddin meminta para calon ketua kelas tampil ke depan untuk memperkenalkan diri beserta visi misi, tanpa perlu dipanggil nama.
Dedi yang pertama kali tampil. Dia langsung berdiri dan menuju ke depan papan tulis. “Nama saya Dedi. Panggilan, Dedi. Hobi, koleksi perangko, jalan-jalan ke hutan, gunung, pantai. Kalian mau saya ajak camping?!”
“Mau!” jawab kami hampir bersamaan.
“Yang sering surat-menyurat,” lanjut Dedi, “kalau perangko bekasnya mau kasih saya, saya akan menerimanya dengan senang hati. Tapi perangkonya tok, suratnya jangan. Bahaya nanti, mungkin surat dari pacar kalian.”
Mendengar kata-kata surat dari pacar, beberapa teman yang cewek tampak tersipu-sipu.
“Minuman yang saya sukai,” lanjut Dedi, “minuman yang bukan racun.”
“Sudah pastilah!” timpa Ardi.
Dedi melanjutkan, “Makanan kesukaan ular, tapi kalau lagi kepepet, kalau kehabisan makanan saat kita camping nanti.”
“Alamakjang!” celetuk Awal.
“Warna kesukaan saya, warna yang gelap-gelap, supaya nggak kelihatan dalam gelap seperti ninja. Namun demikian, saya berdoa semoga kita semua selalu diterangi ilmu pengetahuan, sebagai bekal kita untuk meraih cita-cita…”
Kami semua mengaminkannya bersama-sama. Suara Ardi dan Alex terdengar paling lantang.
Kemudian setelah mengucapkan salam, Dedi langsung berjalan ke tempat duduknya. Suara tepuk tangan kami mengiringi langkah kakinya.
Awal cepat-cepat meninggalkan tempat duduknya, membuat teman-teman yang juga mau maju terpaksa duduk kembali.
“Nama panggilan, Awal,” katanya setelah menyebut nama panjangnya. Aksen Sumatera Utara-nya kali ini terdengar lebih kentara. “Asal, Tapanuli Selatan. Tapi sudah lama tinggal di Banda Aceh. Hobi, cari sahabat, cari rejeki, dan...” Awal terdiam sejenak, tatapannya tertuju ke arah deretan meja cewek-cewek. ”Cari jodoh!” lanjutnya tiba-tiba dengan nada tegas.
Tawa terbahak-bahak memenuhi ruang kelas. Kulihat Pak Zainuddin membuang muka, memandang ke luar jendela kaca. Tampak garis senyum di sudut kumisnya.
Begitu tawa kami reda, Awal melanjutkan, “Hobi lainnya, hobi makan tapi yang halal...”
“Halallin kami, Wal!” seru Santi memotong kata-kata Awal.
Tawa kami pun kembali bergemuruh.
“Banyak amat!” terdengar suara Ardi dalam gemuruh tawa.
“Moto saya, jadilah dirimu sendiri, tiada hidup tanpa cita-cita, tiada makan tanpa kuali!”