Akhirnya kami semua sepakat dengan usulan Dedi, memberi hadiah ulang tahun sebuah jam tangan kepada Pak Zainuddin. Tapi entah dari siapa Pak Zainuddin mengetahui rencana kami itu, uang yang telah kami kumpulkan untuk membeli jam tangan lebih baik digunakan membuat lomba masak mi instan yang nantinya dimakan bersama-sama, katanya. Awalnya kami agak keberatan, tapi karena Pak Zainuddin tetap kukuh tidak mau menerima hadiah dari kami, maka demi merayakan ulang tahunnya kami pun mengadakan lomba tersebut dengan senang hati. Pak Zainuddin sendiri yang menjadi jurinya.
“Di setiap kelompok hanya boleh dua orang yang jadi kokinya dan didampingi dua orang untuk bantu-batu, sedangkan yang lain bantu saya, kita gotong royong memperindah taman di depan kelas kita.” Pak Zainuddin mengakhiri kata-kata sambutanya. Dan lomba pun dimulai.
Nyala api pada sumbu kompor kelompokku tiba-tiba padam dengan sendirinya ketika Nana sedang menggoreng telur. Eva berhenti merajang bawang, lalu memindahkan wajan dari atas kompor ke tatakannya yang diletakkannya di lantai. Tampak asap kehitam-hitaman bercampur jelaga melayang-layang keluar dari lingkaran mulut kompor. “Minyaknya habis kayaknya, Na.” Nada suara Eva terdengar agak panik. “Aduh, kenapa bisa begini?”
Segera kumasukkan jari telunjuk tanganku ke lubang kecil tangki minyak kompor. Ternyata minyaknya memang habis. “Tadi nggak diisi minyak, Rul?”
Fahrul bergegas mengambil jeriken dan corong kecil yang tadi diletakkannya di bawah sebuah meja. “Tadi kata Ardi minyaknya penuh,” katanya sambil menuangkan minyak tanah dari dalam jeriken ke mulut corong yang sudah dimasukkannya ke lubang tangki kompor.
“Kelompok Ardi apa hubungannya sama kelompok kita, Rul?” tanya Nana yang ikut-ikutan panik.
“Kompor di rumahku dipinjam tetangga, lagi ada acara kenduri,” jawab Fahrul sambil menutup erat lubang tangki minyak kompor, “kata Ardi ada kompor punya mahasiswa yang kos di sebelah rumahnya, orangnya lagi pulang kampung, jadi kuminta bantuan Ardi meminjam kompornya buat kita pakai.”
“Habis sumbunya Rul,” kataku sambil mengintip dari atas lubang lingkaran sumbu kompor.
“Cepat buka, Rul. Tarik lagi sumbunya. Cari tang jepit, Dra!” Nana semakin panik, sementara Eva terduduk lemas di bangku sambil melanjutkan merajang bawang di talenan.
Aku segera keluar dari ruang kelas dan lari sekencang-kencangnya mengarah ke gudang sekolah untuk menemui Kek Reben, pengurus halaman sekolah. Masih ada sedikit keberuntungan bagi kelompok kami, Kek Reben tampak berdiri di depan gudang sekolah. “Kek, reben!” teriakku dari jauh.
“Pinjam tang, Kek,” kataku begitu tiba di hadapannya.
“Buat, apa?”
“Tarik sumbu kompor.”
“Kompor siapa?”
“Kompor, kami.”
“Kalian masak?”
“Iya, Kek. Ada acara lomba masak di kelas kami. Pinjam tangnya, Kek.” Aku mulai agak kesal.
“Di dalam gudang tangnya. Tunggu sebentar.”
“Cepat, Kek.”
“Buat apa cepat-cepat?”
“Buat pacaran.” Sekarang aku sungguh-sungguh kesal.
“Ini bocah, uang masih dari orangtua, sudah sok-sokan pacaran,” katanya sambil membuka gembok pintu gudang.