Pagi tadi Sri memberitahu kami bahwa cemilan keripik ubi yang dijanjikannya jadi dibawanya ke lapangan bola besok. Ubi di kebunnya sudah dipanen kemarin. Dia minta bantuan kami mengupas dan mengiris ubinya sepulang sekolah nanti.
Guru pengajar Geografi hanya masuk sebentar, ada keperluan mendadak yang tidak dapat ditundanya. Sebelum meninggalkan ruang kelas, ketua kelas dimintanya menuliskan beberapa soal di papan tulis untuk kami kerjakan, tapi jika kami tidak dapat menyelesaikannya hingga bel pulang, soal-soal tersebut dijadikan PR.
“Langsung sekarang kita ke rumah Sri, gimana setuju?” usul Fahrul.
“Soal PR-nya bisa difotokopi nanti.” Alex memberi respons dan menutup buku tulisnya.
“Betul. Lex.” Ardi memberi dukungan.
“Maksudnya?” tanya Dedi. Dia sudah berdiri di depan papan tulis dengan kapur tulis dan selembar kertas berisi soal-soal hitungan geografi di tangan.
“Soal PR-nya itu kita bawa ke tempat fotokopi, Ded. Ke warkop Balia boleh juga,” kelakar Ardi, “Sekarang kita ke rumah Sri.”
“Maksudnya, kita cabut,” sambung Alex.
“Cabut Ubi?” Bob menyela, “Kan ubinya sudah dipanen kemarin.”
“Cabut dari kelas, Bob!” sahut Riza.
“Boleh juga.” Dedi melipat kertas di tangannya dan memasukkan ke saku bajunya. “Nanti malam kufotokopi.”
“Iya fotokopi saja, pusing siang-siang hitung-hitung bintang di langit.” Samar terdengar suara Mona.
Ardi langsung menimpali, “Jangan pusing, Mon! Dari semua bintang di langit, hanya....”
“Ayo kita ke rumah Sri,” potong Nana yang duduk satu meja dengan Mona.
“Asyik juga cabut sesekali,” kata Sri dengan riangnya.
“Masuk akal, ini jam terakhir, sebentar lagi juga pulang,” sela Bob lagi.
“Betul sekali Bob,” sambung Riza.
Sambil menyandang tas aku beranjak dari tempat duduk menuju ke ambang pintu kelas.
“Serius, Dra?” tanya Fahrul.
“Ngintip situasi dulu,” jawabku sambil melayangkan pandangan mata ke sekitar dan ke pintu ruang BP yang terbuka lebar, tak jauh dari kelas kami yang posisinya di pojokan. Tanaman asoka yang sedang berbunga di taman depan ruang BP jadi penghalang pandangan mataku, tapi juga menjadi sebuah keuntungan bagi kami. Kami dapat leluasa meninggalkan kelas tanpa terlihat dari dalam ruangan BP.
“Ngintip apa ngeten, Dra?” Terdengar suara Fahrul di belakangku. “Aman, Dra?” tanyanya kemudian sambil menepuk bahuku dari belakang. Suasana dalam kelas hening seketika.
Kuacungkan jempol ke arah teman-teman. Beberapa orang segera berkumpul di depan papan tulis, sementara yang lain tampak ragu dan masih duduk di tempat duduk masing-masing, tapi sudah menyandang tas. Kecuali Kamelia. Dia tidak masuk karena terpilih mendampingi kakak kelas mengikuti lomba cerdas cermat di gedung TVRI.
“Aku sama Riyadi yang keluar duluan, Dra. Riyadi menguasai seluk beluk jalan di belakang sekolah,” kata Fahrul, “pasukan yang lain berondok dulu, tunggu kode dari kami.”