“Semuanya baris di depan tiang bendera. Yang laki-laki di depan!” kata guru BP begitu kami memasuki lapangan upacara.
Tidak ada gumpalan awan yang menutupi matahari di atas kepala kami. Keringat mulai membasahi baju seragam sekolah dan telapak tanganku.
“Kenapa bisa ketahuan, Dra?” tanya Fahrul begitu guru BP pergi meninggalkan kami.
Kugosok-gosokkan telapak tanganku di celana dan tidak kutanggapi pertanyaannya.
“Bayangkan di hari kiamat kelak,” kata Bob sambil mengelap kaca matanya. Wajahnya memerah.
Suasana dalam barisan hening sesaat.
“Haus kami, Bob. Beli air sirup dingin di kantin Bob,” kata Nana tiba-tiba.
“Iya, Bob. Taruh di kantong plastik, pakai es batu,” sambung Santi memelas, “jangan lupa pipetnya ya, Bob.”
“Sekalian titip bakwan dua, Bob.” Sri merogoh saku bajunya, lalu mengeluarkan uang logam seratus rupiah.
“Aku juga, Bob.” Eva ikut mengeluarkan uang. “Perutku mulai perih.”
Satu demi satu teman-temanku yang lain mulai ikut-ikutan mengeluarkan uang. Bob mengernyitkan dahinya.
“Kumpulkan uangnya sama Bob,” sela Ardi. Sambil mengamati ruang BP dia melangkah pelan mendekati Bob. “Donat dua,” katanya kemudian sambil memasukkan uang ke dalam saku baju Bob.
“Kamu apa, Dra?” tanya Bob, “Aku traktir.”
“Kacang goreng satu.”
Sesaat kemudian saku baju seragam sekolah Bob mengembung dipenuhi uang logam. Bob tertawa kecil dan melangkah dengan senangnya ke arah kantin. Hingga sepuluh menit berlalu Bob belum juga kembali.
Gumaman kesal terdengar dari teman-temanku:
“Makan mi bakso dulu kayaknya!”
“Dia suka es lilin. Jangan-jangan tunggu es lilinnya habis!”