“Sebelum ke rumah Sri, kita beli nasi bungkus, nanti makannya di warkop Balia,” usul Ardi begitu Pak Zainuddin keluar dari kelas. “Boleh, Bal?”
“Boleh, aku buka warkop memang setelah pulang sekolah.”
“Nasi bungkus berapa harganya?” tanya Riza, “Uang jajan pas-pasan soalnya. Kalau tahu dari kemarin bisa bawa uang lebih.”
“Sama, Za. Yang mau beli ayam siamku nggak jelas orangnya. Belum laku-laku ayamku. Saat ini dompet lagi tipis-tipisnya,” sambung Fahrul.
“Gimana, Dra, ada ide?” Dedi menggaruk-garukkan kepalanya.
“Kami yang cewek langsung pulang dulu ya, Sri?” potong Santi. “Boleh datang telat, kan, datangnya?”
“Boleh juga. Yang cewek kalau ada yang mau langsung ke rumahku, makan di rumahku,” kata Sri.
Tiba-tiba Novri berkata, “Gini, Ded, Za, Rul. Kita kumpul uang seikhlasnya. Tidak ada batas minimal dan maksimalnya. Lihat jumlah uang yang terkumpul, setelah itu baru beli nasi bungkus, seberapa dapat, kita makan bersama.”
“Ide bagus Nov,” kataku spontan. “Aku punya dua ribu.”
“Lagi banyak uang, Dra?” sela Ardi.
“Dapat rejeki. Bantu temanku buat benang gelasan, dijual ke sepupunya. Mau dibawa ke Medan katanya.”
Dedi mengambil kotak kapur kosong di atas meja guru. “Yang lain gimana?”